Komnas HAM memandang bahwa revisi UU Terorisme cenderung melemahkan
kehormatan Hak Asasi Manusia. Salah satunya proses penahanan yang
sebelumnya 7 x 24 jam menjadi 30 x 24 jam. Penahanan selama tujuh hari
banyak kekerasan yang melanggar hukum, terlebih jika nantinya ditambah.
“Di depan mata adanya revisi UU Terorisme yang arahnya cendurung melanggar hukum dan hak asasi manusia. Saya rasa kita harus kritik bersama jika revisi tersebut mengarah kepada perihal tersebut,” tutur Siana Indriyani selaku kordinator penyelidikan Komnas HAM, Senin (21/03) di Klaten.
Ia menghendaki jangan sampai UU tersebut justru semakin membuat penyimpangan-penyimpangan selanjutnya, dimana penyimpangan tersebut sering terjadi hingga saat ini.
“Kita sepakat bahwa penanganan terorisme harus diarahkan melalui proses hukum. Namun faktanya, seseorang yang baru terduga sudah mengalami penghilangan nyawa. Ada juga penghilangan orang secara paksa karena tidak ada surat penangkapan, begitupun di kasus Siyono baru-baru ini,” tegasnya.
Koordinator Bagian Penyelidikan Komnas HAM itu menambahkan, secara hukum tindakan ini tidak diperbolehkan oleh suatu negara yang menjunjung tinggi asas keadilan hukum. Ia berharap agar penanganan kasus-kasus pidana, khususnya terkait terorisme dapat menghormati proses hukum dan asas praduga tak bersalah.
Dalam hal ini, Siane menyinggung pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan dan HAM ini justru dituduh sebagai pembela teroris.
“Komnas HAM dan lainnya membantah tudingan Anton Charlian yang mengatakan kita sebagai pembela teroris tersebut. Apa yang kami bela adalah membela hak-hak seseorang yang baru dianggap sebagai teroris namun tidak diproses melalui hukum, melainkan ditindak dengan kekerasan yang melanggar HAM,” pungkasnya
“Di depan mata adanya revisi UU Terorisme yang arahnya cendurung melanggar hukum dan hak asasi manusia. Saya rasa kita harus kritik bersama jika revisi tersebut mengarah kepada perihal tersebut,” tutur Siana Indriyani selaku kordinator penyelidikan Komnas HAM, Senin (21/03) di Klaten.
Ia menghendaki jangan sampai UU tersebut justru semakin membuat penyimpangan-penyimpangan selanjutnya, dimana penyimpangan tersebut sering terjadi hingga saat ini.
“Kita sepakat bahwa penanganan terorisme harus diarahkan melalui proses hukum. Namun faktanya, seseorang yang baru terduga sudah mengalami penghilangan nyawa. Ada juga penghilangan orang secara paksa karena tidak ada surat penangkapan, begitupun di kasus Siyono baru-baru ini,” tegasnya.
Koordinator Bagian Penyelidikan Komnas HAM itu menambahkan, secara hukum tindakan ini tidak diperbolehkan oleh suatu negara yang menjunjung tinggi asas keadilan hukum. Ia berharap agar penanganan kasus-kasus pidana, khususnya terkait terorisme dapat menghormati proses hukum dan asas praduga tak bersalah.
Dalam hal ini, Siane menyinggung pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan dan HAM ini justru dituduh sebagai pembela teroris.
“Komnas HAM dan lainnya membantah tudingan Anton Charlian yang mengatakan kita sebagai pembela teroris tersebut. Apa yang kami bela adalah membela hak-hak seseorang yang baru dianggap sebagai teroris namun tidak diproses melalui hukum, melainkan ditindak dengan kekerasan yang melanggar HAM,” pungkasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar