Para ulama
telah bersepakat bahwa Al-Quran telah tersebar sampai ke tangan kita sekarang
melalui jalan yang mutawatir dengan riwayat yang sangat banyak bersambung
sanadnya hingga ke Rasulullah SAW. Kemudian Ulama mengistilahkan periwayatan
Al-Quran ini dengan Ilmu Qiraat. Singkatnya, karena versi bacaan Al-Quran yang
begitu banyak hingga muncul banyak perselisihan bahkan saling menyalahkan antar
satu sama lain, maka pada sekitar pertengahan abad ke-2 seorang ulama ahli
Qiraat -Ibnu Mujahid (w.324H)-
melakukan kodifikasi (standarisasi) dalam kitabnya “as-sab’ah” menjadi tujuh qiraat
macam saja. Beliau mensyaratkan tiga parameter untuk
qiraat yang
legal, yaitu (1) Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, (2) Harus memiliki rantai transmisi hingga Rasulullah, (3) Harus sesuai dengan rasm utsmani.
legal, yaitu (1) Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, (2) Harus memiliki rantai transmisi hingga Rasulullah, (3) Harus sesuai dengan rasm utsmani.
Lalu setelah
terpilihnya tujuh imam qiraat, dilakukan penyempurnaan perawi oleh Abu ‘Amr
ad-Dani (w.444H) seorang pakar qiraat asal Andalus dalam kitabnya “at-Taisir”
dengan hanya memilih dua perawi saja yang kemudian karyanya tersebut dijadikan nadhoman
sya’ir oleh Imam asy-Syathibi (w.590H) berjudul “Hirzul Amani wa Wajhu
at-Tahaani Fi al-Qiraat as-Sab’ terdiri dari 1173 bait dan sangat masyhur di
kalangan umat islam baik Timur maupun Barat saat ini. Ke-tujuh imam bacaan
tersebut adalah :
1. Abu `Amru
bin Al-Ala’ (perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi)
2. Ibnu Katsir
(perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul)
3. Nafi`
Al-Madani (perawinya adalah Qalun dan Warsy)
4. Ibnu Amir
Asy-Syami (perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan)
5. `Ashim
Al-Kufi (perawinya adalah Syu`bah dan Hafsh). Qiro’at imam ashim riwayat hafsh
inilah yang biasa kita baca.
6. Hamzah
Al-Kufi (perawinya adalah Khalaf dan Khalad), dan
7. Al-Kisa’i
Al-Kufi (perawinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri).
Perawi-perawi ini juga mempunyai
perawi lain dibawahnya yang disebut dengan thariq. Sebagai contoh bacaan
yang diresmikan di Maroko saat ini yaitu riwayat Warsy dari Nafi’ dengan thariq
(jalur) al-Azraq. Sedangkan di Indonesia yaitu riwayat Hafsh dari ‘Ashim dengan
thariq Abu Muhammad ‘Ubaid bin as-Shabah.
Kemudian seiring perkembangan zaman,
riwayat-riwayat tersebut tersebar ke beberapa wilayah seperti :
-
Riwayat Warsy dari Nafi’ tersebar di negara Barat islam (Al-Jazair, Maroko,
Mauritania, Tunisia bagian Barat), Afrika Barat (Sinegal, Nigeria, Mali, dll),
dan beberapa wilayah di Mesir dan Libya.
-
Riwayat Hafs ad-Daury dari Abu ‘Amr al-Bashri tersebar di Somalia, Sudan
dan Afrika Tengah pada umumnya.
-
Sedangkan riwayat Hafs dari ‘Ashim tersebar di sebagian besar negara-negara
Islam bagian Timur termasuk Mesir.
Melihat perkembangan qiraat saat ini, muncul pertanyaan mengapa di Maroko
atau Barat Islam pada umumnya masih menggunakan riwayat Warsy dari Nafi’ dimana
negara-negara Islam bagian Timur dan Teluk Arab telah menggunakan riwayat Hafsh
dari ‘Ashim? Bagaimana sejarahnya riwayat bacaan warsy ini bisa tersebar sampai
ke Maroko dan menjadi qiraat resmi di negara ini?
Jadi, riwayat warsy merupakan nisbat kepada Usman bin Sa’id al-Mishry
(w.297H). Gurunya Imam Nafi’ (w.169H) yang menggelarinya ‘Warsy’ karena beliau
adalah seorang yang sangat putih. Imam Warsy berasal dari Mesir yang kemudian
berhijrah ke Madinah untuk belajar qiraat kepada Imam Nafi’ yang mana ketika
itu beliau telah memiliki sanad qiraat dari tujuh puluh tabi’in. Imam Nafi’
juga hidup semasa Imam Malik bin Anas ketika di Madinah. Imam Malik pernah
berkata tentang qiraat Nafi’ : “Qiraat ahlu Madinah itu Sunnah”. Kemudian ada
yang bertanya: “Qiraat Nafi’ kah?” Beliau menjawab: “ya!”. Bahkan ketika beliau
ditanyakan tentang hukum menjahrkan
bismillah pada pertengahan sholat beliau berkata: “Tanyalah kepada Nafi’!
Sesungguhnya setiap ilmu itu harus ditanyakan kepada ahlinya. Dan Nafi’ adalah
ahli dalam bidang qiraat.”
Diantara sebab-sebab Maroko memilih riwayat warsy dan bahkan masih tetap
eksis sampai saat ini adalah:
1. Tashilul hamz, yaitu membaca dengan meringankan huruf hamzah. Tashilul hamz ini merupakan
sebuah keistimewaan yang terdapat dalam qiraat imam Nafi’ seperti yang terdapat
dalam kalimat mahmuz (berhamzah), seperti : مومن، ياجوج، ماجوج، الذيب. Dalam sebuah riwayat juga
dikatakan bahwa imam Malik pernah memakruhkan bacaan nabr (membaca huruf
hamzah dengan jelas).
Tashilul hamz inilah yang menjadi alasan Maroko memilih riwayat
warsy, yaitu karena bacaan Al-Qurannya sesuai dengan bahasa dan lahjah Arab
mereka. Contoh dalam sapaan sehari-hari mereka berkata “labbas ‘alaik?”
bermakna apa kabar. Asalnya adalah “laa ba’sa ‘alaik?” (dengan mendhahirkan
hamzah).
2.
Sebab lain yang menjadikan Maroko
mengutamakan riwayat warsy disebutkan oleh Dr. Abdul Hadi Abdullah Humito
(anggota Ikatan Ulama Muhammadiyah Maroko) yaitu adanya kesesuaian dengan mazhab
Maliki sebagai mazhab fiqih resmi kerajaan Maroko pada awal kemerdekannya.
Telah jelas bahwa Imam Malik juga membaca Al-Quran dengan Qiraat Nafi’ sebagai
Qiraat ahlu Madinah pada masanya.
3.
Dibalik dua alasan tersebut, Ghazi
bin Qais al-Andalusy atau yang sering disebut dengan Imam Qurtuby w.199H (seorang
ulama Andalus) lah yang menjadi pengaruh penting terhadap penyebaran riwayat
warsy di Andalus khususnya Maroko, karena beliau dianggap sebagai orang yang pertama
sekali memperkenalkan qiraat Nafi’ dan mazhab Maliki ke negara seribu benteng
ini setelah belajar langsung kepada Imam Nafi’ dan Imam Malik bin Anas di
Madinah. Lalu hijrah beliau dari Andalus diikuti oleh Muhammad bin Abdullah
al-Qurtuby dan belajar langsung ke madrasah-madrasah qiraat yang didirikan Imam
Warsy di Mesir setelah wafatnya Imam Nafi’. Begitu juga Abdullah Muhammad bin
Wadhah al-Qurtuby (w.276H), dan banyak lainnya.
Sepulangnya mereka ke maghrib dari berhijrah lalu mendirikan madrasah-madrasah
qiraat untuk mengajarkannya kepada masyarakat sehingga kemudian muncul
tokoh-tokoh besar dalam bidang qiraat seperti Abu ‘Amr ad-Dani, Imam
asy-Syathibi, dan lain-lain.
4.
Ditambahkan juga oleh Dr. Abdul
Hadi Humito diantara sebabnya yaitu karena banyaknya para Jemaah haji Maroko
yang singgah ke Madinah dan belajar qiraat kepada Imam Nafi’ sekaligus
mendalami fiqih maliki kepada Imam Malik. Bahkan setelah wafatnya Imam Nafi’
mereka masih terus mempelajarinya ke Imam Warsy sebagai murid terkenal Nafi’.
Sedangkan ketika itu penyebaran riwayat Hafsh masih terbatas di Irak.
5.
Dalam kitab Tarikh al-Qiraat Fi
al-Masyriq wal Maghrib karya Dr. M. Mukhtar Walad Abbah (Dosen di Dar
al-Hadits al-Hassaniya Rabat, Maroko) menyebutkan bahwa diantara sebab
masyhurnya bacaan Al-Quran riwayat Warsy di Barat Islam karena munculnya madrasah-madrasah
qiraat seperti : Madrasah el-Qairawan, Madrasah al-Andalusiyah, Madrasah
al-Maghribiyah, dan Madrasah asy-Syanqithiyah.
Adapun Madrasah al-Maghribiyah dipelopori oleh Abu Abdullah
bin Al-Qashab, Abu al-Hassan al-Qurtuby dan Ibn Ajrum sehingga muncul madrasah
lainnya seperti: Madrasah Ibn Barri, Madrasah al-Kharraj, Madrasah Abu
Abdillah as-Shafar, Madrasah Ibn Ghazi, Madrasah Ibn al-Qadhi, dll.
Itulah
diantara sebab tersebarnya riwayat warsy hingga ke Maroko. Lalu kenapa bukan
riwayat Qalun yang juga dari Nafi’ dijadikan sebagai qiraat resmi di Maroko?
Telah
diketahui bahwa sejak wafatnya Imam Nafi’ pada 169H di Madinah, Imam Warsy
kembali ke tanah airnya (Mesir) dan mendirikan madrasah qiraat di sana. Sejak
itu pula ahlul maghrib termasuk Maroko beralih mendalami ilmu qiraatnya kepada
Imam Warsy ke Mesir dan mulailah berkembangnya riwayat Warsy. Setelah belajar
di Mesir lalu mereka kembali ke Maroko dan mengajarkannya hingga generasi ke
generasi.
Sedangkan Imam
Isa bin Mina al-Madini (Imam Qalun yang juga murid terkenal Imam Nafi’) ketika
itu menetap di Madinah mengajarkan qiraat. Di balik itu pula, pemilihan qiraat
di Maroko mengacu kepada sistem kodifikasi yang telah dilakukan oleh Imam Abu ‘Amr
ad-Dani dan Imam asy-Syathibi. Karena alasan inilah terpilihnya riwayat Warsy
dari Nafi’ dengan thariq al-Azraq sebagai bacaan resmi Al-Quran di Maroko.
Ada yang bertanya mengenai tulisan ini ; telah dijelaskan sebelumnya bahwa bacaan imam nafi adalah bacaan ahli madinah dan itu sunnah, sedangkan sekarang Madinah menggunakan bacaan hafsh dari 'Ashim krn menurut para ahli qiroat bacaan hafsh adalah bacaan yang paling fasih. Karena semua huruf dibaca. Apakah menggunakan bacaan hafsh bukan sunnah?
Jawabannya akan saya uraikan dalam 3 point :
Contoh : Surat al-baqarah ayat 249
Perhatikan pada kalimat غرفة.
Dlm nadhaman nya imam Syathibi : غرفة ضم ذو ولا
Sesuai metode & rumus qiroat asy-Syatibi, beliau menisbatkan (ذو) kepada Al-Kufiyyun dan Asy-Syami.
Siapakah mereka? Yaitu :
Al-kufiyyun = Hamzah, 'Ashim, dan al-Kissai
Asy-Syami = Ibn 'Amir
Termasuk juga riwayat nya hafsh dari 'Ashim al-Kufi.
Mereka yang disebutkan asy-Syathibi dalam nadhamannya tsb membaca dgn dhommah (غُرفة) dan ini adalah qiroat yg fashih.
Sedangkan imam lain selain mereka membaca dengan fathah (غَرفة) dan inilah qiroat yg afshah (paling fashih). Jadi qiroat dengan perawi warsy dalam hal ini tidak tergolong yang paling fashih.
Wallahu a'lam.
Ada yang bertanya mengenai tulisan ini ; telah dijelaskan sebelumnya bahwa bacaan imam nafi adalah bacaan ahli madinah dan itu sunnah, sedangkan sekarang Madinah menggunakan bacaan hafsh dari 'Ashim krn menurut para ahli qiroat bacaan hafsh adalah bacaan yang paling fasih. Karena semua huruf dibaca. Apakah menggunakan bacaan hafsh bukan sunnah?
Jawabannya akan saya uraikan dalam 3 point :
1- Terkait permasalahan "qiraat
ahlu madinah itu sunnah" iaitu perkataannya imam Malik. Dalam ilmu qiraat
disebutkan bahwa semua qiraat mutawatir itu sunnah mutba'ah, jadi wajar kalau
imam Malik mengatakan demikian sesuai dgn iqomahnya di Madinah, juga beliau tau
akan kemutawatiran qiroat nya Nafi'. Jadi, menurut saya perkataan beliau itu
tidak menafikan qiraat yang lain. Qiraat ahlu syam oleh ibn 'Amir jg sunnah,
qiroat ahlu kuffah oleh 'Ashim yang salah satu perawinya Hafsh jg sunnah, dll
dari qiroat mutawatir. Adapun riwayat hafsh adalah shahih karena ia
meriwayatkannya dari salah seorang imam qiroat yg mutawatir yaitu imam ‘Ashim.
2- Dalam hal ini fokus saya adalah
masih seputar sejarah perkembangannya riwayat warsy sehingga menjadi resmi di Maroko.
Adapun sejarah perkembangannya mengapa Madinah yang pada awalnya menggunakan
qiroat Nafi' (karena memang imam Nafi' asli Madinah) namun kemudian tanah suci
ini malah meresmikan Hafsh sebagai qiroat resminya belum saya teliti lebih
lanjut. Melainkan ada banyak pendapat yang berbicara mengenai hal tsb.
Dari beberapa pendapat ada yang mengatakan karena
adanya pengaruh turki ustmani yg menggunakan hafsh, pendapat lain mengatakan
pengaruh terpentingnya karena ketika pertama sekali Al-Quran dicetak di mesir
tahun 1924 menggunakan mesin percetakan modern buatan Jerman, ketika itu hanya
mencetak dengan satu riwayat saja yaitu hafsh kemudian disebarkan hampir ke
seluruh negara Islam, dan banyak pendapat lain. Akan tetapi dugaan kuat saya
yaitu karena ada kaitannya dengan mazhab fiqih yang dianut seperti Maroko yang
menyesuaikan qiroat yaitu qiroat Nafi’ dengan perawi warsy sesuai dengan mazhab
fiqih yang diresmikan yaitu Maliki sejak pertama sekali diperkenalkan oleh Imam
al-Qurthubi..
3-
Dalam ilmu qiraat disebutkan bahwa
diantara qiroat mutawatir itu ada yg fashih dan ada yg afshah. Kedua jenis ini
tidak dipermasalahkan oleh para ulama karena imam-imam qiroat memiliki landasan
dengan sanad yg shahih.
Adapun suatu qiroat dikatakan fashih atau afshah
(paling fashih) tidak dilihat karena semua hurufnya yang dibaca sehingga
menjadi paling fashih, melainkan tashil hamz itu hanya salah satu contoh dari
“al-Ushul” yang merupakan khilaful wajib dlm ilmu qiraat. Oleh karena itu
tidak bisa dikatakan hafsh itu yg lebih afshah, karena terkadang ia jg bisa
menjadi fashih dari lain sisi.
Contoh : Surat al-baqarah ayat 249
فَلَمَّا
فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ فَمَن
شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا
مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا
مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا
مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ
غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249)
Perhatikan pada kalimat غرفة.
Dlm nadhaman nya imam Syathibi : غرفة ضم ذو ولا
Sesuai metode & rumus qiroat asy-Syatibi, beliau menisbatkan (ذو) kepada Al-Kufiyyun dan Asy-Syami.
Siapakah mereka? Yaitu :
Al-kufiyyun = Hamzah, 'Ashim, dan al-Kissai
Asy-Syami = Ibn 'Amir
Termasuk juga riwayat nya hafsh dari 'Ashim al-Kufi.
Mereka yang disebutkan asy-Syathibi dalam nadhamannya tsb membaca dgn dhommah (غُرفة) dan ini adalah qiroat yg fashih.
Sedangkan imam lain selain mereka membaca dengan fathah (غَرفة) dan inilah qiroat yg afshah (paling fashih). Jadi qiroat dengan perawi warsy dalam hal ini tidak tergolong yang paling fashih.
Wallahu a'lam.
Referensi :
-
Abu ‘Amr ad-Dani. “at-Taisir.”
-
Dr. M. Mukhtar Walad Abbah. (2001).
“Tarikh al-Qiraat Fi al-Masyriq wal Maghrib.”
-
Dr. Abdul Hadi Abdullah Humito.
(2003). “Qiraat al-Imam Nafi’ ‘inda al-Magharibah min Riwayat Abi Sa’id
Warsy : Muqawwimatuha wa Madarisuha al-Adaiyyah ila Nihayati al-Qarni al-‘Asyir
al-Hijri.”
-
Abdul Fattah bin Abdul Ghani
al-Qadhi. (2007). “Al-Budur az-Zahirah fi al-Qiraat al-‘Asyr al-Mutawatirah;
min thariqai asy-Syathibiyah wad Durrah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar