Minggu, 31 Januari 2016

maroko,Qiraat Nafi’ sebagai Qiraat ahlu Madinah pada masanya.

Para ulama telah bersepakat bahwa Al-Quran telah tersebar sampai ke tangan kita sekarang melalui jalan yang mutawatir dengan riwayat yang sangat banyak bersambung sanadnya hingga ke Rasulullah SAW. Kemudian Ulama mengistilahkan periwayatan Al-Quran ini dengan Ilmu Qiraat. Singkatnya, karena versi bacaan Al-Quran yang begitu banyak hingga muncul banyak perselisihan bahkan saling menyalahkan antar satu sama lain, maka pada sekitar pertengahan abad ke-2 seorang ulama ahli Qiraat  -Ibnu Mujahid (w.324H)- melakukan kodifikasi (standarisasi) dalam kitabnya “as-sab’ah” menjadi tujuh qiraat macam saja. Beliau mensyaratkan tiga parameter untuk qiraat yang
legal, yaitu (1) Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, (2) Harus memiliki rantai transmisi hingga Rasulullah, (3) Harus sesuai dengan rasm utsmani.
Lalu setelah terpilihnya tujuh imam qiraat, dilakukan penyempurnaan perawi oleh Abu ‘Amr ad-Dani (w.444H) seorang pakar qiraat asal Andalus dalam kitabnya “at-Taisir” dengan hanya memilih dua perawi saja yang kemudian karyanya tersebut dijadikan nadhoman sya’ir oleh Imam asy-Syathibi (w.590H) berjudul “Hirzul Amani wa Wajhu at-Tahaani Fi al-Qiraat as-Sab’ terdiri dari 1173 bait dan sangat masyhur di kalangan umat islam baik Timur maupun Barat saat ini. Ke-tujuh imam bacaan tersebut adalah :
1. Abu `Amru bin Al-Ala’ (perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi)
2. Ibnu Katsir (perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul)
3. Nafi` Al-Madani (perawinya adalah Qalun dan Warsy)
4. Ibnu Amir Asy-Syami (perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan)
5. `Ashim Al-Kufi (perawinya adalah Syu`bah dan Hafsh). Qiro’at imam ashim riwayat hafsh inilah yang biasa kita baca.
6. Hamzah Al-Kufi (perawinya adalah Khalaf dan Khalad), dan
7. Al-Kisa’i Al-Kufi (perawinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri).
            Perawi-perawi ini juga mempunyai perawi lain dibawahnya yang disebut dengan thariq. Sebagai contoh bacaan yang diresmikan di Maroko saat ini yaitu riwayat Warsy dari Nafi’ dengan thariq (jalur) al-Azraq. Sedangkan di Indonesia yaitu riwayat Hafsh dari ‘Ashim dengan thariq Abu Muhammad ‘Ubaid bin as-Shabah.
            Kemudian seiring perkembangan zaman, riwayat-riwayat tersebut tersebar ke beberapa wilayah seperti :
-          Riwayat Warsy dari Nafi’ tersebar di negara Barat islam (Al-Jazair, Maroko, Mauritania, Tunisia bagian Barat), Afrika Barat (Sinegal, Nigeria, Mali, dll), dan beberapa wilayah di Mesir dan Libya.
-          Riwayat Hafs ad-Daury dari Abu ‘Amr al-Bashri tersebar di Somalia, Sudan dan Afrika Tengah pada umumnya.
-          Sedangkan riwayat Hafs dari ‘Ashim tersebar di sebagian besar negara-negara Islam bagian Timur termasuk Mesir.
Melihat perkembangan qiraat saat ini, muncul pertanyaan mengapa di Maroko atau Barat Islam pada umumnya masih menggunakan riwayat Warsy dari Nafi’ dimana negara-negara Islam bagian Timur dan Teluk Arab telah menggunakan riwayat Hafsh dari ‘Ashim? Bagaimana sejarahnya riwayat bacaan warsy ini bisa tersebar sampai ke Maroko dan menjadi qiraat resmi di negara ini?
Jadi, riwayat warsy merupakan nisbat kepada Usman bin Sa’id al-Mishry (w.297H). Gurunya Imam Nafi’ (w.169H) yang menggelarinya ‘Warsy’ karena beliau adalah seorang yang sangat putih. Imam Warsy berasal dari Mesir yang kemudian berhijrah ke Madinah untuk belajar qiraat kepada Imam Nafi’ yang mana ketika itu beliau telah memiliki sanad qiraat dari tujuh puluh tabi’in. Imam Nafi’ juga hidup semasa Imam Malik bin Anas ketika di Madinah. Imam Malik pernah berkata tentang qiraat Nafi’ : “Qiraat ahlu Madinah itu Sunnah”. Kemudian ada yang bertanya: “Qiraat Nafi’ kah?” Beliau menjawab: “ya!”. Bahkan ketika beliau ditanyakan tentang hukum menjahrkan  bismillah pada pertengahan sholat beliau berkata: “Tanyalah kepada Nafi’! Sesungguhnya setiap ilmu itu harus ditanyakan kepada ahlinya. Dan Nafi’ adalah ahli dalam bidang qiraat.”
Diantara sebab-sebab Maroko memilih riwayat warsy dan bahkan masih tetap eksis sampai saat ini adalah:
1.      Tashilul hamz, yaitu membaca dengan meringankan huruf hamzah. Tashilul hamz ini merupakan sebuah keistimewaan yang terdapat dalam qiraat imam Nafi’ seperti yang terdapat dalam kalimat mahmuz (berhamzah), seperti : مومن، ياجوج، ماجوج، الذيب. Dalam sebuah riwayat juga dikatakan bahwa imam Malik pernah memakruhkan bacaan nabr (membaca huruf hamzah dengan jelas).
Tashilul hamz inilah yang menjadi alasan Maroko memilih riwayat warsy, yaitu karena bacaan Al-Qurannya sesuai dengan bahasa dan lahjah Arab mereka. Contoh dalam sapaan sehari-hari mereka berkata “labbas ‘alaik?” bermakna apa kabar. Asalnya adalah “laa ba’sa ‘alaik?” (dengan mendhahirkan hamzah).
2.      Sebab lain yang menjadikan Maroko mengutamakan riwayat warsy disebutkan oleh Dr. Abdul Hadi Abdullah Humito (anggota Ikatan Ulama Muhammadiyah Maroko) yaitu adanya kesesuaian dengan mazhab Maliki sebagai mazhab fiqih resmi kerajaan Maroko pada awal kemerdekannya. Telah jelas bahwa Imam Malik juga membaca Al-Quran dengan Qiraat Nafi’ sebagai Qiraat ahlu Madinah pada masanya.
3.      Dibalik dua alasan tersebut, Ghazi bin Qais al-Andalusy atau yang sering disebut dengan Imam Qurtuby w.199H (seorang ulama Andalus) lah yang menjadi pengaruh penting terhadap penyebaran riwayat warsy di Andalus khususnya Maroko, karena  beliau dianggap sebagai orang yang pertama sekali memperkenalkan qiraat Nafi’ dan mazhab Maliki ke negara seribu benteng ini setelah belajar langsung kepada Imam Nafi’ dan Imam Malik bin Anas di Madinah. Lalu hijrah beliau dari Andalus diikuti oleh Muhammad bin Abdullah al-Qurtuby dan belajar langsung ke madrasah-madrasah qiraat yang didirikan Imam Warsy di Mesir setelah wafatnya Imam Nafi’. Begitu juga Abdullah Muhammad bin Wadhah al-Qurtuby (w.276H), dan banyak lainnya.
Sepulangnya mereka ke maghrib dari berhijrah lalu mendirikan madrasah-madrasah qiraat untuk mengajarkannya kepada masyarakat sehingga kemudian muncul tokoh-tokoh besar dalam bidang qiraat seperti Abu ‘Amr ad-Dani, Imam asy-Syathibi, dan lain-lain.
4.      Ditambahkan juga oleh Dr. Abdul Hadi Humito diantara sebabnya yaitu karena banyaknya para Jemaah haji Maroko yang singgah ke Madinah dan belajar qiraat kepada Imam Nafi’ sekaligus mendalami fiqih maliki kepada Imam Malik. Bahkan setelah wafatnya Imam Nafi’ mereka masih terus mempelajarinya ke Imam Warsy sebagai murid terkenal Nafi’. Sedangkan ketika itu penyebaran riwayat Hafsh masih terbatas di Irak.
5.      Dalam kitab Tarikh al-Qiraat Fi al-Masyriq wal Maghrib karya Dr. M. Mukhtar Walad Abbah (Dosen di Dar al-Hadits al-Hassaniya Rabat, Maroko) menyebutkan bahwa diantara sebab masyhurnya bacaan Al-Quran riwayat Warsy di Barat Islam karena munculnya madrasah-madrasah qiraat seperti : Madrasah el-Qairawan, Madrasah al-Andalusiyah, Madrasah al-Maghribiyah, dan Madrasah asy-Syanqithiyah.
Adapun Madrasah al-Maghribiyah dipelopori oleh Abu Abdullah bin Al-Qashab, Abu al-Hassan al-Qurtuby dan Ibn Ajrum sehingga muncul madrasah lainnya seperti: Madrasah Ibn Barri, Madrasah al-Kharraj, Madrasah Abu Abdillah as-Shafar, Madrasah Ibn Ghazi, Madrasah Ibn al-Qadhi, dll.
Itulah diantara sebab tersebarnya riwayat warsy hingga ke Maroko. Lalu kenapa bukan riwayat Qalun yang juga dari Nafi’ dijadikan sebagai qiraat resmi di Maroko?
Telah diketahui bahwa sejak wafatnya Imam Nafi’ pada 169H di Madinah, Imam Warsy kembali ke tanah airnya (Mesir) dan mendirikan madrasah qiraat di sana. Sejak itu pula ahlul maghrib termasuk Maroko beralih mendalami ilmu qiraatnya kepada Imam Warsy ke Mesir dan mulailah berkembangnya riwayat Warsy. Setelah belajar di Mesir lalu mereka kembali ke Maroko dan mengajarkannya hingga generasi ke generasi.
Sedangkan Imam Isa bin Mina al-Madini (Imam Qalun yang juga murid terkenal Imam Nafi’) ketika itu menetap di Madinah mengajarkan qiraat. Di balik itu pula, pemilihan qiraat di Maroko mengacu kepada sistem kodifikasi yang telah dilakukan oleh Imam Abu ‘Amr ad-Dani dan Imam asy-Syathibi. Karena alasan inilah terpilihnya riwayat Warsy dari Nafi’ dengan thariq al-Azraq sebagai bacaan resmi Al-Quran di Maroko.

Ada yang bertanya mengenai tulisan ini ; telah dijelaskan sebelumnya bahwa bacaan imam nafi adalah bacaan ahli madinah dan itu sunnah, sedangkan sekarang Madinah menggunakan bacaan hafsh dari 'Ashim krn menurut para ahli qiroat bacaan hafsh adalah bacaan yang paling fasih. Karena semua huruf dibaca. Apakah menggunakan bacaan hafsh bukan sunnah?

Jawabannya akan saya uraikan dalam 3 point :

1-     Terkait permasalahan "qiraat ahlu madinah itu sunnah" iaitu perkataannya imam Malik. Dalam ilmu qiraat disebutkan bahwa semua qiraat mutawatir itu sunnah mutba'ah, jadi wajar kalau imam Malik mengatakan demikian sesuai dgn iqomahnya di Madinah, juga beliau tau akan kemutawatiran qiroat nya Nafi'. Jadi, menurut saya perkataan beliau itu tidak menafikan qiraat yang lain. Qiraat ahlu syam oleh ibn 'Amir jg sunnah, qiroat ahlu kuffah oleh 'Ashim yang salah satu perawinya Hafsh jg sunnah, dll dari qiroat mutawatir. Adapun riwayat hafsh adalah shahih karena ia meriwayatkannya dari salah seorang imam qiroat yg mutawatir yaitu imam ‘Ashim.

2-     Dalam hal ini fokus saya adalah masih seputar sejarah perkembangannya riwayat warsy sehingga menjadi resmi di Maroko. Adapun sejarah perkembangannya mengapa Madinah yang pada awalnya menggunakan qiroat Nafi' (karena memang imam Nafi' asli Madinah) namun kemudian tanah suci ini malah meresmikan Hafsh sebagai qiroat resminya belum saya teliti lebih lanjut. Melainkan ada banyak pendapat yang berbicara mengenai hal tsb.

Dari beberapa pendapat ada yang mengatakan karena adanya pengaruh turki ustmani yg menggunakan hafsh, pendapat lain mengatakan pengaruh terpentingnya karena ketika pertama sekali Al-Quran dicetak di mesir tahun 1924 menggunakan mesin percetakan modern buatan Jerman, ketika itu hanya mencetak dengan satu riwayat saja yaitu hafsh kemudian disebarkan hampir ke seluruh negara Islam, dan banyak pendapat lain. Akan tetapi dugaan kuat saya yaitu karena ada kaitannya dengan mazhab fiqih yang dianut seperti Maroko yang menyesuaikan qiroat yaitu qiroat Nafi’ dengan perawi warsy sesuai dengan mazhab fiqih yang diresmikan yaitu Maliki sejak pertama sekali diperkenalkan oleh Imam al-Qurthubi..

3-      Dalam ilmu qiraat disebutkan bahwa diantara qiroat mutawatir itu ada yg fashih dan ada yg afshah. Kedua jenis ini tidak dipermasalahkan oleh para ulama karena imam-imam qiroat memiliki landasan dengan sanad yg shahih.

Adapun suatu qiroat dikatakan fashih atau afshah (paling fashih) tidak dilihat karena semua hurufnya yang dibaca sehingga menjadi paling fashih, melainkan tashil hamz itu hanya salah satu contoh dari “al-Ushul” yang merupakan khilaful wajib dlm ilmu qiraat. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan hafsh itu yg lebih afshah, karena terkadang ia jg bisa menjadi fashih dari lain sisi.

Contoh : Surat al-baqarah ayat 249

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249)


Perhatikan pada kalimat غرفة.
Dlm nadhaman nya imam Syathibi :
غرفة ضم ذو ولا
Sesuai metode & rumus qiroat asy-Syatibi, beliau menisbatkan (ذو) kepada Al-Kufiyyun dan Asy-Syami.
Siapakah mereka? Yaitu :
Al-kufiyyun = Hamzah, 'Ashim, dan al-Kissai
Asy-Syami = Ibn 'Amir


Termasuk juga riwayat nya hafsh dari 'Ashim al-Kufi.


Mereka yang disebutkan asy-Syathibi dalam nadhamannya tsb membaca dgn dhommah (
غُرفة) dan ini adalah qiroat yg fashih.
Sedangkan imam lain selain mereka membaca dengan fathah (
غَرفة) dan inilah qiroat yg afshah (paling fashih). Jadi qiroat dengan perawi warsy dalam hal ini tidak tergolong yang paling fashih.


Wallahu a'lam.


Referensi :
-          Abu ‘Amr ad-Dani. “at-Taisir.”
-          Dr. M. Mukhtar Walad Abbah. (2001). “Tarikh al-Qiraat Fi al-Masyriq wal Maghrib.”
-          Dr. Abdul Hadi Abdullah Humito. (2003). “Qiraat al-Imam Nafi’ ‘inda al-Magharibah min Riwayat Abi Sa’id Warsy : Muqawwimatuha wa Madarisuha al-Adaiyyah ila Nihayati al-Qarni al-‘Asyir al-Hijri.”
-          Abdul Fattah bin Abdul Ghani al-Qadhi. (2007). “Al-Budur az-Zahirah fi al-Qiraat al-‘Asyr al-Mutawatirah; min thariqai asy-Syathibiyah wad Durrah”.

Tidak ada komentar: