di balik nama Barbar. Mungkin kita tidak
pernah tahu bahwa Tariq bin Ziyad, salah satu prajurit paling legendaris
dalam sejarah Islam adalah seorang Barbar. Dia yang memimpin pasukan
Islam saat menaklukkan Andalusia (Spanyol) pada tahun 711 Masehi dan
namanya hingga kini diabadikan sebagai nama sebuah selat yang memisahkan
Afrika Utara dengan Eropa, Giblartar (Jabal Thariq). Mungkin
kita juga tidak pernah tahu bahwa Ibnu Batutah, seorang pengembara
muslim terkemuka yang dicatat oleh sejarah sebagai pengembara terbesar
pra-modern, adalah orang Barbar tulen. Bahkan, Zinadine Zidane, salah
satu pesepakbola terbaik sepanjang masa, adalah orang Barbar yang
berimigrasi ke Prancis.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar
tentang apa itu “Barbar” sangatlah dibutuhkan bagi para pengkaji sejarah
Islam, terutama yang menekuni kajian Timur Tengah. Dengan pemahaman
ini, diharapkan spektrum pemikiran kita akan lebih luas dan tidak hanya
fokus kepada Arabisme saja.
2. Definisi Barbar
Secara etimologi, para sejarawan mencatat bahwa kata “Barbar” (Berber)
baru dikenal pada masa akhir Kekaisaran Romawi. Oleh karena itu,
relevansi penggunaan kata ini untuk periode-periode sebelumnya tidak
diterima oleh para sejarawan purbakala. Untuk memahami arti kata ini,
biasanya dipakai istilah “Amazigh” (jamak: Imazighen)
yang merupakan nama yang sering dipakai oleh orang-orang Barbar untuk
menyebut diri mereka sendiri. Di dalam catatan Leo Africanus, “Amazigh”
berarti “orang bebas” (free man). Namun, di dalam bahasa Barbar
modern ternyata tidak ditemukan akar kata M-Z-Gh yang berarti “bebas”.
Mungkin yang lebih tepat adalah kata “Amajegh” dalam dialeg suku Tuareg
yang berarti “orang mulia” atau “bangsawan” (noble man).
Secara umum, para ilmuwan mendefinisikan
“Barbar” sebagai penduduk asli yang mendiami wilayah Afrika Utara di
sebelah barat lembah sungai Nil. Mereka tersebar dari pantai Atlantik di
barat sampai oase Siwa (Mesir) di timur, serta dari pantai Mediterania
di utara sampai sungai Niger di selatan. Di masa sekarang, mayoritas
orang Barbar adalah penduduk Maroko, Aljazair, Libya, dan Tunisia.
Sebagian kecil ada yang menjadi penduduk Mesir, Mali, Mauritania,
Burkina Faso, dan Nigeria. Sejarah mencatat terdapat beberapa sebutan
lain untuk Barbar. Orang Mesir menyebut mereka Meshwesh. Orang Yunani kuno menyebut mereka Libyans. Orang Romawi menyebut mereka Numidians dan Mauri. Orang Eropa abad Pertengahan menyebut mereka Moors.
3. Ras, Bahasa, dan Agama Orang Barbar
Barbar termasuk dalam rumpun Kaukasoid.
Secara fisik, orang Barbar menyerupai sub-ras Mediterania atau
Kaukasoid-Eropa Selatan. Namun, berbeda dengan orang kulit putih Eropa
Selatan, orang Barbar memiliki tubuh lebih tinggi serta rambut, jenggot
dan alis yang lebih pirang. Ibnu Khaldun menggambarkan karakter orang
Barbar sebagai manusia pemberani, kuat, hebat, dan memiliki solidaritas
tinggi. Ibnu Khaldun menambahkan bahwa orang Barbar benar-benar manusia
sejati yang sederajat dengan orang Arab, Persia, Yunani, dan Romawi.
Bahasa asli orang Barbar yang dikenal sebagai bahasa Tamazigh diduga merupakan cabang dari bahasa Afro-Asiatic yang merupakan kelanjutan dari bahasa Proto-Afro-Asiatic. Sebagian ahli berpendapat bahwa bahasa Barbar termasuk dalam rumpun bahasa Hamitic. Namun, sebagian besar ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa Barbar lebih mirip dengan bahasa Semitic dan Chadic. Pengguna bahasa Tamazigh
hingga saat ini diperkirakan antara 30-40 juta orang. Hal ini
dikarenakan sebagian besar orang Barbar memilih bahasa Arab sebagai
bahasa utamanya. Sehingga, pengguna bahasa Barbar yang benar-benar masih
murni hanya bisa ditemukan di daerah pedalaman, pegunungan, dan gurun
pasir.
Bahasa Barbar sendiri memiliki beberapa
dialek yang berbeda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kelompok
etnik yang tersebar di beberapa wilayah Afrika Utara, yaitu antara lain:
- Moroko:
- Shilha (Chleuh): Central and Upper-Southern Atlas mountains
- Central Atlas Imazighen: Central and Upper-Northern Atlas mountains
- Riffians: Coastal North Highlands Riff mountains
- Aljazair:
- Libya:
- Nafusi (Infusen)
- Mesir:
- Tersebar di beberapa Negara:
Sebelum mengenal Islam, orang Barbar
berturut-turut memeluk agama Pagan kuno, Politheisme Yunani dan Romawi,
serta Yahudi dan Nasrani. Saat ini, mayoritas orang Barbar beragama
Islam Sunni. Namun, suku Mozabite beraliran Ibadite. Sampai
tahun 1960-an masih ada beberapa klan Barbar di Maroko yang memeluk
agama Yahudi. Namun, sejak terjadinya imigrasi besar-besaran ke Israel
dan negara-negara Eropa dan Amerika, jumlah mereka saat ini bisa
dihitung dengan jari. Sedangkan yang memeluk agama Katholik dan
Protestan adalah sebagian klan Kabyle di Aljazair.
4. Perkembangan Masyarakat Barbar
Para sejarawan meyakini bahwa nenek
moyang orang Barbar sudah menempati kawasan Afrika Utara sepanjang
pantai Mediterania sejak zaman Paleolitikum. Namun, bukti eksistensinya
baru bisa dilacak sejak 4000 SM, di mana mereka sudah mulai bercocok
tanam dan beternak dan menjalin hubungan dagang dengan Mesir. Pada 2000
SM, peradaban mereka sudah mengenal logam (metal) yang
didatangkan dari Mesir. Namun, sejak invansi yang dilakukan oleh Bangsa
Funisia dan Yunani (814–146 SM), Romawi (146 SM–439 M), Vandals (439–534
M), dan Byzantium atau Romawi Timur (534–647 M), peradaban Barbar
bergeser ke arah Selatan, yaitu di sekitar pegunungan Atlas dan gurun
Sahara. Akibatnya, suku-suku Negro Sub-Sahara yang tempat tinggalnya
direbut oleh orang Barbar terusir ke wilayah selatan Sungai Niger.
Sebenarnya, masa inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan
budaya dan tradisi asli orang Barbar.
Pada masa ini, Bangsa Barbar menyusun
pemerintahan sendiri yang tergabung dalam sebuah perserikatan yang oleh
orang Romawi disebut Numidia. Pada perkembangan selanjutnya, Numidia
menjadi salah satu provinsi otonom dari Kekaisaran Romawi. Dinasti
penguasa Numidia membawahi beberapa klan yang diberi otoritas untuk
memerintah di wilayahnya masing-masing. Setiap klan diatur secara
mandiri oleh sebuah dewan yang terdiri dari keluarga yang berbeda,
dengan satu anggota dari setiap keluarga duduk di dewan penasihat.
Although a Berber tribe was close-knit within it, separate tribes did
not cooperate easily with each other. Meskipun suku Barbar mempunyai
tradisi kesukuan yang sangat kuat, namun mereka tidak mudah bekerjasama
satu sama lain. Thus, wars occurred.Maka
tidak mengherankan apabila sering terjadi perang antar suku. Ibnu
Khaldun mencatat urut-urutan dinasti yang pernah berkuasa di Numidia,
yaitu: Zirid, Banu Ifran, Maghrawa, Almoravid, Hammadid, Almohad, Merinid, Abdalwadid, Wattasid , Meknassa dan Hafsid.
Perubahan besar dimulai sejak abad ke-7
masehi, yaitu sejak kedatangan Agama Islam yang dibawa oleh orang Arab.
Terjadilah proses Islamisasi dan Arabisasi yang diawali dengan pendirian
kota Qayrawan oleh Uqbah bin Nafi’, Gubernur Mesir pada masa Bani
Umayyah, sekitar tahun 670 M. Akar Islamisasi semakin kuat di masa
pemerintahan Abul Muhajir Dinar yang berhasil mengajak pemimpin
konfederasi Kristen Barbar yang bernama Kusaila masuk Islam. Namun,
proses Islamisasi yang awalnya cukup lempang itu tidak berbanding lurus
dengan stabilitas politik. Para pimpinan klan-klan Barbar tercatat
beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap penguasa Umayyah.
Meskipun tidak dapat dibantah bahwa Bangsa Barbar memiliki jasa besar
terhadap penaklukan dan Islamisasi Andalusia (Spanyol) di bawah pimpinan
Thariq bin Ziyad. Hal ini disebabkan oleh diskriminasi rasial dalam
kebijakan-kebijakan politik yang menempatkan orang Barbar sebagai
masyarakat kelas dua di bawah orang Arab. Puncaknya adalah revolusi
Barbar yang dipimpin oleh kalangan Khawarij (Kharijite).
Keberhasilan gerakan Khawarij ini pada gilirannya melahirkan beberapa
kerajaan teokratis kecil yang senantiasa mengganggu stabilitas kekuasaan
Bani Umayyah di Andalusia dan Afrika Utara. Gejolak berkepanjangan ini
baru bisa dihentikan pada abad ke-11, ketika Dinasti Fatimiyah yang
berkuasa di Mesir memerintahkan klan Banu Hilal untuk mengusir Dinasti
Barbar Zirid dari daerah pemukiman utama orang Barbar. Sejak masa inilah
proses Islamisasi dan Arabisasi orang Barbar berjalan mulus tanpa
hambatan.
Kolonialisme Barat di Afrika Utara
menyebabkan Bangsa Barbar semakin termarjinalkan. Maka, sejarah mencatat
betapa orang Barbar begitu gigih berjuang melawan kolonialisme itu.
Setelah perang Dunia II berakhir dan negara-negara kebangsaan (nation states)
yang baru merdeka terbentuk, bangsa Barbar justru terpolarisasi ke
dalam wilayah geografis masing-masing negara. Di saat yang sama,
Negara-negara itu (selain Libya) menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa
nasional. Hal ini berdampak positif, khususnya bagi kebangkitan kembali
tradisi asli dan bahasa Barbar. Sebab selama masa kolonial, tradisi dan
bahasa Barbar tidak memiliki ruang untuk berkembang. Dengan
ditetapkannya bahasa Arab sebagai bahasa nasional dan Islam sebagai
ideologi Negara, dengan sendirinya para penguasa dan pemegang kebijakan
Negara-negara baru itu merasa perlu untuk membuka ruang seluas-luasnya
bagi suku-suku Barbar (yang jumlahnya besar) untuk mengembangkan diri
dan meraih kemajuan.
Saat ini, di beberapa negara Afrika Utara
suku-suku Barbar memiliki kesempatan dan kedudukan yang setara dengan
etnis Arab. Di Aljazair, konstitusi Negara menetapkan identitas
nasionalnya dengan nama “Negara Arab dan Barbar Muslim” dan bahasa
Barbar menjadi bahasa nasional kedua setelah bahasa Arab. Di Maroko,
bahasa Barbar menjadi salah satu bahasa wajib diajarkan (compulsory language) tanpa memperhatikan wilayah dan kesukuan.
Selain itu, beberapa figur Barbar bahkan
berhasil mencapai posisi yang tinggi dalam hirarki sosial. Contoh yang
paling sahih adalah mantan presiden Aljazair, Liamine Zeroual, dan mantan perdana menteri Maroko, Driss Jettou.
Bahkan, di Aljazair, suku Barbar Chenoui mendominasi angkatan
bersenjata. Namun sebaliknya dari para kaum laki-laki, sampai sejauh ini
masih jarang wanita Barbar berhasil mencapai posisi yang tinggi.
Tercatat hanya Khalida Toumi, seorang feminis dan aktivis Barbar
militan, yang berhasil menjadi menteri komunikasi di pemerintahan
Aljazair. Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya sistem patriarki di
sebagian besar negara Timur Tengah.
Satu hal yang juga patut diperhatikan adalah stereotipe orang Barbar sebagai bangsa pengembara (nomads). G.P.
Murdock mencatat bahwa sejak 2000 SM, mata pencarian orang Barbar sudah
beraneka ragam. Sebagian memang menjalankan gaya hidup nomaden, yaitu
berburu dan meramu. Tapi sebagian yang lain sudah banyak yang bertani,
beternak, dan berdagang. Di masa sekarang, orang Barbar sudah sedemikian
rupa terlibat dalam hampir semua sektor ekonomi dan sosial. Bahkan,
yang tetap bertahan dengan gaya hidup nomaden praktis hanya tiga
sub-etnik saja, yaitu Tuareg, Zenaga, dan Chaoui.
Fenomena yang juga tak kalah menarik
adalah diaspora orang Barbar ke beberapa negara maju di Eropa dan
Amerika. Negara Eropa yang banyak menjadi tujuah “hijrah” orang Barbar
adalah Prancis, Spanyol, Belanda, Belgia, dan Inggris. Sedangkan di
Amerika, sebagian besar orang Barbar pindah kewarganegaraan menjadi
warga Amerika Serikat dan Kanada. Tak sedikit di antara para imigran ini
yang kemudian sukses di tanah air barunya. Contoh yang paling terkenal
adalah Zinedine Zidane, pemain sepakbola yang membawa Prancis menjadi
juara dunia dan Eropa. Zidane adalah keturunan suku Barbar Kabyle
Aljazair.
5. Penutup
Tulisan singkat ini hanyalah pengantar
awal untuk mengenal apa itu orang barbar. Untuk memperdalam dan
mempelajari berbagai aspek yang lebih luas dari kehidupan orang Barbar
diperlukan riset yang lebih serius dengan sarana yang memadai. Perlu
disebutkan di sini bahwa kendala utama yang dihadapi oleh kami adalah
sangat minimnya buku dan referensi lain seputar Berber People yang bisa kami akses. Beberapa buku pokok yang kami perlukan tidak bisa kami temukan di perpustakaan dan belum ada format e-book yang bisa kami akses lewat internet.
Namun demikian, melalui penelusuran kami
yang serba terbatas ini kami bisa menyimpulkan beberapa hal yang kami
pandang penting untuk meluruskan kesalahpahaman kami selama ini soal
orang Barbar. Pertama, Barbar bukanlah manusia kelas kedua.
Mereka adalah manusia sejati dan bermartabat sama dengan manusia dari
belahan bumi yang lain. Kedua, penamaan dan konstruk yang melahirkan stereotipe yang salah tentang “Barbarianism”
yang selama ini kita kenal mengindikasikan adanya bias kolonialisme
yang sangat kental. Untuk itu, diperlukan penelitian dan kajian lebih
lanjut seputar hal ini. Ketiga, sebagai sebuah rumpun atau suku
bangsa, Barbar memiliki karakteristik, keistimewaan dan kelemahan yang
bisa kita telusuri dari perkembangan masyarakatnya yang merentang selama
berabad-abad. Kemudian kita bisa mengkomparasikannya dengan etnis atau
suku bangsa Timur Tengah yang lain, yang merupakan salah satu objek
kajian mata kuliah ini. Dengan itu, kita bisa berharap memiliki gambaran
yang utuh tentang sosiologi masyarakat Timur Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar