Loyalitas terhadap Ali bin
Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan
konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke-
VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan
kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu
berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya
berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah
ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang
memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari
golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang
lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup
antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah
sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa
merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan
penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·
Awal Pembentukan dan
Perkembangan Dinasti Fatimiyah
·
Khalifah Daulah Fatimiyah
·
Masa Kemajuan dan Kontribusi
Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
·
Masa Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Fatimiyah
.
2. PEMBAHASAN
A. Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman
Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah
meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih
pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk
secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat
bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah
menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka,
terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk
kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai
imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
Sekte
Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah
Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan
politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini
pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan
dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka
secara rahasia menyusup utusan-utusan
keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan
Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama
bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
Pada tahun 874 M muncullah seorang
pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian
menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi
ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan
dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang
Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah
mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat
(Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi
pemimpin pergerakan[3].
Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya.
Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah
al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika
dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di
Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah
Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia,
Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia
mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada
tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim
dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan
Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan
ke Mesir tetapi tidak berhasil karena
sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim
meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas
pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah
sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah
sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama
pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu
Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk
ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara.
Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam
pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia
Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak
berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk
propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar
menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa menguasai
negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi
rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan
pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah
Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap.
Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama
al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun
973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat
pemerintahan.[5]
B. Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada
empat belas orang
1.
Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan
umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali
ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai
seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir
sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir
dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan
Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan
Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362
H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota
yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz.
Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah
Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah
mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai
akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan
perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku
dengan berbagai ilmu.
C. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah
Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat
besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan.
Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana
diantaranya sebagai berkut:
a.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah,
kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi
memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun
temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di
teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak
laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting
yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau
wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah,
mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam
sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga
daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir
ini dibentuk pada masa Aziz billah pada
bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga
membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis ,
dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan
tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam
pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual.
Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan
Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer
diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua
permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil
diantaranya:
a.
Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur
percetakan uang
b.
Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.
Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan
pengawasan timbangan
d.
Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.
Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.
Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja
dibutuhkan.
Selain dari penjabat di
istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola
bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga
kelompok:
1.
Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan
pengawal Khalifah
2.
Para Obsir Jaga
3.
Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan
Sudaniyah.
b.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat
yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung
membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan
pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah
ini adalah:
1.
Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat
yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis
beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah
yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh,
filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.
Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis
kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku
tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul
Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.
Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang
penulis yang paling banyak tulisannya
4.
Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.
Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.[12]
c.
Pendidikan dan
Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah
adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan
seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga
seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah
Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz
yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah
adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul
Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis
yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini
kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan
kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah,
terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad.
Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000
buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an ini
merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.
Ekonomi dan
Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural
yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia
non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri
mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan
berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari
1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah
sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo
baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap
tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan
dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa
kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada
masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian Dinasti
Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa
ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
1.
Daerah pinggiran-pinggiran
sungai Nil
2.
Tempat-tempat yang telah
ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi
kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai
penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk
diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka,
namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran
Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal
tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi
air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua
musim :
1.
Musim dingin, (bulan
Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada
musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.
Musim panas, (bulan april
sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi
sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam
padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka
melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa,
dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota
Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari
dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah
memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu
sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan
yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun
agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman
Agama
Sesuai
dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari
sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin
mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan
berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti
oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini
dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya
dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan
Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun.
Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan
dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa
gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci
umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh
sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah
satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi
memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan
dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya,
bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun
381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari
tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan
menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada
akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama
sepuluh tahun.
Al-Hakim kemudian memilih mengikuti
perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai
penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh
di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan
yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak
hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri.
Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir
situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di
dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar
namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar.
Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel.
Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali
gereja yang di dalamnya terdapat kuburan
suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian
digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu
al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah
menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja,
sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena
itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di
wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang
datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada
waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan
dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu
lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari
bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak.
Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia
selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah
Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang
daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika.
Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini
terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara
orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan
kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian
Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr
al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi
(komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang
ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan
penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat,
terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara
dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan
al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh.
Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal
mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya.
Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li
wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi
khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia
meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak
dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih
sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah
az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki,
penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir
di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian
berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan
az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak
az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini
meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru
berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk
kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga
untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik
mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah
melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara
salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap.
Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa
ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya
Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk
menyelenggarakan khutbah dengan menyebut
nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah
untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.[16]
E. Penutup
Dari uraian diatas kita bisa
mengambil beberapa intisari yang sangat menakjubkan, betapa keberadaan dinasty
Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban
Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan
dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman agama dan
lain-lain.
Akan tetapi penulis sangat
memahari, dengan minimnya literatur yang penulis baca, maka makalah ini jauh
dari sempurna. Maka demi kesempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan
partisipasinya demi kesempurnaan makalah dimasa mendatang. Sekian saja terima
kasih.
[1] Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992. h. 30
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 245.
[3] Philip K. Haiti, History of The Arab, (London: The
Macmilland Press Ltd, 1974). h. 618.
[4]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 113
[5] W.Montgomery Watt,
penterjemah Hartono Hadikusumo, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1990), h. 216
[6] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 109
[7]Ibid, h. 109
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, (Kairo: Lajnah Ta’wa
al Nasyr), h. 188
[12] Hasan Ibrahim, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, (Kairo:
Jannatut Ta’lif, 1958), h. 469
[13] Ajid Thohir, op.cit.,h. 117
[14] Dr. Aiman Fuad Sayyid. op.
cit. h 293
[15] Ibid
[16] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar