Al-Makmun
merupakan salah satu Khalifah Bani Abbas yang paling terkemuka. Lahir
pada tanggal 14 September 786 M, merupakan salah seorang putra Khalifah
Harun Ar-Rasyid, hal ini sesuai dengan keterangan yang dikutip dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Makmun_Ar-Rasyid sebagai berikut.
Al-Makmun Ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Makmun
adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid. Nama asli Al-Makmun sendiri adalah Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi, berkuasa sejak tahun 813 hingga tahun 833 M dan wafat dalam usia 48 tahun.
Al-Makmun lahir tepat pada saat pamannya al-Mahdi wafat pada tahun 170 H hal ini sesuai dengan pendapat Syalabi (2008:115) bahwa ”Abdullah Abul-Abbas dilahirkan pada tahun 170H, dimalam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi. Seperti yang telah disebutkan,al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin” dari pendapat tersebut dapat dimengerti bahwa Al-Makmun lahir pada saat pamannya al-Hadi wafat pada tahun 170 H. Al-Makmun lahir lebih awal setengah tahun dari saudara sebapaknya, Al-Amin.
Sebelum dibai’at menjadi Khalifah Al-Makmun sudah memiliki pengalaman dalam perpolitikan pemerintahan Abbasiyah, bahkan sebelum menjadi Khalifah ia telah menjabat sebagai Wali atau Gubernur di Khurasan, hal ini berdasarkan keterangan yang dikutip dari http://www.khabarislam.com/al-mamun-khalifah-penyokong-ilmu-pengetahuan.html/10/05/2010 sebagai berikut.
Konflik itu semakin memburuk setelah Al-Amin yang menjadi khalifah memecat Al-Ma’mun dari posisi gubernur Khurasan. Al-Amin menunjuk puteranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khurasan. Al-Makmun menganggap keputusan itu sebagai pelanggaran terhadap wasiat sang ayah, Harun Ar-Rasyid. Keduanya lalu berperang. Dengan bantuan pasukan Khurasan pimpinan Thahir bin Husain Al-Ma’mun berhasil mengalahkan kekuatan Al-Amin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa sejak masa kekuasaan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, Al-Makmun sudah diangkat menjadi wali atau gubernur di Khurasan, namun setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid wafat, Khalifah Al-Amin yang menggantikan ayahnya sebagai Khalifah memecat Al-Makmun dari jabatannya sebagi gubernur Khurasan, sebagai penggantinya oleh Al-Amin diangkatlah puteranya sebagai wali atau gubernur di Khurasan. Pemecatan Al-Makmun dari jabatan wali di Khurasan ini mengakibatkan terjadinya konflik antara kedua putra Harun Ar-Rasyid ini, sehingga pecahlah perang antara Al-Amin dan Al-Makmun, yang dimenangkan oleh Al-Makmun. Dengan kemenangan ini Al-Makmun kemudian dibai’at oleh umat sebagai Khalifah Daulah Abbasiyah .
Ketika dibai’at sebagai khalifah, usia Al-Makmun tergolong masih muda yaitu baru berusia 28 tahun, namun Al-Makmun mampu memerintah dengan sangat baik sehingga berhasil membawa pemerintahan Daulah Abbasiyah mencapai kemakmuran dan kemajuan, bahkan masa pemerintahannya lebih unggul dari pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid, itulah sebabnya pada masa pemerintahannya disebut sebagai puncak keemasan Daulah Abbasiyah. Hal ini sejalan dengan keterangan Buchori (2009:93-94), sebagai berikut.”setelah kematian Al-Amin, naiklah Al-Makmun sebagai khalifah pada tahun 813 M. Al-Makmun diangkat menjadi khalifah sewaktu berusia 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun ar-Rasyid”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun menjadi khalifah ketika masih berusia 28 tahun, bertepatan pada tahun 813 Masehi, setelah wafatnya Al-Amin, saudaranya. Al-Makmun memerintah selama 20 tahun, yang berhasil mempertahankan kejayaan yang pernah di capai oleh ayahnya, bahkan pada masanya jauh mengungguli ayahnya kebesaran ayahnya.
Pada masa Al-Makmun ibu kota Daulah Abbasiyah, Bagdad, sangat terkenal keseluruh penjuru dunia, karena selain sangat indah dan megah, Baghdad merupakan kota transit dunia ketika itu, juga karena kota ini sangat populer karena perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini sesuai dengan pendapat Samsul Munir Amin dalam buku Sejarah Peradaban Islam, menyebutkan ” kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu” ( 2009:147). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan Al-Makmun kota Bagdad berkembang sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun Daulah Abbasiyah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya. Salah satu kemajuan yang menonjol pada masa pemerintahan Al-Makmun adalah terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yatim (2008 : 53) sebagai berikut.
Al-Makmun, pengganti Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan Khalifah Abbasiyah yang memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan ia menggaji penerjemah-penerjemah dari kalangan non Islam untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani serta membangun pusat penerjemahan yang fungsinya sekaligus sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan, sehingga Bagdad, ibu kota Khilafah Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
Al-Makmun wafat sewaktu berlangsungnya perang di Tarsus, dalam usia yang belum terlalu tua, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, bahwa ”Al-Makmun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. Usianya saat itu 48 tahun” ( 2008:127). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Makmun wafat pada tahun 218 H di usia 48 tahun.
2. Pemerintahan Abbasiyah
Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan Islam yang menaungi seluruh umat Islam setelah berakhirnya pemerintahan Khilafah bani Umayyah. Pemerintahan Abbasiyah biasanya disebut Khilafah Abbasiyah yaitu suatu sistem pemeritahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menerapkan hukum-hukum Islam dalam pemerintahan negara dan diyakini sebagai penerus Nabi dalam hal pemerintahan dan kekuasaan. Pemerintahan Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas Ash-Saffah. Hal ini sesuai keterangan Samsul Munir Amin (2009:138) dalam buku Sejarah Peradaban Islam, sebagai berikut.”Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Saffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama dalam Khilafah Abbasiyah. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M)”. Dari keterangan di atas dapat di pahami bahwa pemerintahan bani Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas Ash-Saffah pada tahun 656 Masehi dan pemerintahan ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yakni dari tahun 132 sebagai pusat sampai tahun 656 Hijriah.
Pemerintahan Abbasiyah dinisbatkan dengan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri pemerintahan Abbasiyah ini merupakan keturunan paman nabi Muhammad Abbas bin Abdul Muthalib, yakni generasi keempat Abbas bin Abdul Muthalib. Hal ini sesuai dengan pendapat Amin (2009:138) yang menyatakan bahwa, ”Pemerintahan Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pertama dari pemeritahan ini adalah Abdullah Ash-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa pemerintahan Abbasiyah adalah suatu pemerintahan Islam yang didirikan oleh Abdullah Ash-Saffah keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, Abbas sendiri adalah paman Nabi Muhammad SAW.
Pemerintahan Abbasiyah pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun mecapai kejayaan, sehingga disebut sebagai masa keemasan Islam, hal ini sesuai dengan pendapat Buchori (2009 : 91) yang menyatakan bahwa ”Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya, Al-Makmun, yang disebut ’Masa Keemasan Islam (The Golden Age of Islam)’”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kejayaan pemerintahan Abbasiyah terjadi pada masa Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Makmun.
Khilafah Bani Abbas yang berabad-abad memainkan peranan penting akhirnya mengalami kemundurun setelah diserang oleh pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan, hal berdasarkan keterangan Amin (2009 : 156) sebagai berikut.
Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/1258 M. Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah Barat dari Cina ke pangkuannya. Baghdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami kemerosotan dan keruntuhan setelah mendapat serangan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M dengan terbunuhnya Khalifah Al-Mu’thasim Billah. Tentara Mongol juga melakukan pengrusakan-pengrusakan dan buku-buku yang ada di Bait al-Hikmah dibakar dan dibuang oleh pasukan barbar tersebut kesungai Tigris, akibat banyaknya buku yang dibuang ke sungai Tigris menyebabkan warna air sungai berubah menjadi hitam.
3. Pengertian Pemahaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ”Pemahaman yaitu proses, pembuatan, cara memahami atau memahamkan” sedangkan kata ”Paham berarti mengerti benar akan atau tahu benar” (Depdikbud, 1997: 714). Sedangkan W.J.S. Poerwadarminta menyatakan paham adalah ”pengertian, pengetahuan banyak, mengerti benar, atau benar-benar memahami” (1976:714).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa pengertian pemahaman adalah merupakan upaya untuk menemukan suatu kejelasan tentang permasalahan yang ditemukan supaya diketahui secara maksimal supaya menjadi paham dan dapat memahami dengan mengerti.
Dari hasil penelitian Hery Noordiansyah (2009) dengann judul Perebutan Kekuasaan Antara Khalifah Al-Amin Dengan Al-Ma'mun (810-813 M) Dan Dampaknya Bagi Dinasti Abbasiyah. Secara umum kesimpulan dari hasil penelitian ini disebutkan bahwa, di balik kesuksesan yang dicapai, Kalifah Harun ar-Rasyid juga berhadapan dengan kesulitan dalam mengatur masalah suksesi.Ar-Rasyid, seperti yang dilakukan ayahnya, memutuskan bahwa kekhalifahan harus diwariskan kepada putra yang terbaik. Akan tetapi, ia memberi peringatan agar konflik harus dihindarkan dengan memproklamasikan secara terbuka dan memperinci hak serta kewajiban para calon khalifah. Untuk memberikan aura kesakralan pada nominasi sukses ini, tokoh-tokoh penting Dinasti Abbasiyah pergi menunaikan ibadah haji tahun 186 H. (802 M).
Di kota suci Mekah inilah diadakan upacara formal perjanjian. Salah satu isi dari perjanjian ini adalah penabalan kedua putra khalifah, Muhammad ( yang kemudian bergelar al-Amin, 809-813) dan Abdullah (bergelar al-Ma'mun, 813-833) sebagai calon pengganti Khalifah ar-Rasyid secara berurutan. Perjanjian ini menentukan bahwa Muhammad akan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, sementara Abdullah pada waktu yang bersamaan menjadi Gubernur Khurasan sebagai wilayah otonomi penuh secara militer dan secara ekonomi, terutama perpajakan. Meskipun perjanjian tersebut dimaksudkan untuk menghindari pertentangan antar kandidat, ternyata persaingan di antara keduanya tidak dapat dihindari.
Menjelang berakhirnya kekuasan Harun ar-Rasyid, pemerintah berhadapan dengan berbagai kerusuhan yang terjadi akibat adanya perebutan kekuasaan antara Khalifah al-Amin dan Khalifah al-Ma'mun. Ketegangan yang terjadi di antara keduanya mulai muncul dan berkembang berkaitan dengan status otonomi Propinsi Khurasan. Para perwira militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah al-Amin untuk menguasai propinsi penting ini.
Al-Makmun Ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Makmun
adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid. Nama asli Al-Makmun sendiri adalah Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi, berkuasa sejak tahun 813 hingga tahun 833 M dan wafat dalam usia 48 tahun.
Al-Makmun lahir tepat pada saat pamannya al-Mahdi wafat pada tahun 170 H hal ini sesuai dengan pendapat Syalabi (2008:115) bahwa ”Abdullah Abul-Abbas dilahirkan pada tahun 170H, dimalam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi. Seperti yang telah disebutkan,al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin” dari pendapat tersebut dapat dimengerti bahwa Al-Makmun lahir pada saat pamannya al-Hadi wafat pada tahun 170 H. Al-Makmun lahir lebih awal setengah tahun dari saudara sebapaknya, Al-Amin.
Sebelum dibai’at menjadi Khalifah Al-Makmun sudah memiliki pengalaman dalam perpolitikan pemerintahan Abbasiyah, bahkan sebelum menjadi Khalifah ia telah menjabat sebagai Wali atau Gubernur di Khurasan, hal ini berdasarkan keterangan yang dikutip dari http://www.khabarislam.com/al-mamun-khalifah-penyokong-ilmu-pengetahuan.html/10/05/2010 sebagai berikut.
Konflik itu semakin memburuk setelah Al-Amin yang menjadi khalifah memecat Al-Ma’mun dari posisi gubernur Khurasan. Al-Amin menunjuk puteranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khurasan. Al-Makmun menganggap keputusan itu sebagai pelanggaran terhadap wasiat sang ayah, Harun Ar-Rasyid. Keduanya lalu berperang. Dengan bantuan pasukan Khurasan pimpinan Thahir bin Husain Al-Ma’mun berhasil mengalahkan kekuatan Al-Amin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa sejak masa kekuasaan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, Al-Makmun sudah diangkat menjadi wali atau gubernur di Khurasan, namun setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid wafat, Khalifah Al-Amin yang menggantikan ayahnya sebagai Khalifah memecat Al-Makmun dari jabatannya sebagi gubernur Khurasan, sebagai penggantinya oleh Al-Amin diangkatlah puteranya sebagai wali atau gubernur di Khurasan. Pemecatan Al-Makmun dari jabatan wali di Khurasan ini mengakibatkan terjadinya konflik antara kedua putra Harun Ar-Rasyid ini, sehingga pecahlah perang antara Al-Amin dan Al-Makmun, yang dimenangkan oleh Al-Makmun. Dengan kemenangan ini Al-Makmun kemudian dibai’at oleh umat sebagai Khalifah Daulah Abbasiyah .
Ketika dibai’at sebagai khalifah, usia Al-Makmun tergolong masih muda yaitu baru berusia 28 tahun, namun Al-Makmun mampu memerintah dengan sangat baik sehingga berhasil membawa pemerintahan Daulah Abbasiyah mencapai kemakmuran dan kemajuan, bahkan masa pemerintahannya lebih unggul dari pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid, itulah sebabnya pada masa pemerintahannya disebut sebagai puncak keemasan Daulah Abbasiyah. Hal ini sejalan dengan keterangan Buchori (2009:93-94), sebagai berikut.”setelah kematian Al-Amin, naiklah Al-Makmun sebagai khalifah pada tahun 813 M. Al-Makmun diangkat menjadi khalifah sewaktu berusia 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun ar-Rasyid”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun menjadi khalifah ketika masih berusia 28 tahun, bertepatan pada tahun 813 Masehi, setelah wafatnya Al-Amin, saudaranya. Al-Makmun memerintah selama 20 tahun, yang berhasil mempertahankan kejayaan yang pernah di capai oleh ayahnya, bahkan pada masanya jauh mengungguli ayahnya kebesaran ayahnya.
Pada masa Al-Makmun ibu kota Daulah Abbasiyah, Bagdad, sangat terkenal keseluruh penjuru dunia, karena selain sangat indah dan megah, Baghdad merupakan kota transit dunia ketika itu, juga karena kota ini sangat populer karena perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini sesuai dengan pendapat Samsul Munir Amin dalam buku Sejarah Peradaban Islam, menyebutkan ” kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu” ( 2009:147). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan Al-Makmun kota Bagdad berkembang sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun Daulah Abbasiyah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya. Salah satu kemajuan yang menonjol pada masa pemerintahan Al-Makmun adalah terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yatim (2008 : 53) sebagai berikut.
Al-Makmun, pengganti Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan Khalifah Abbasiyah yang memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan ia menggaji penerjemah-penerjemah dari kalangan non Islam untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani serta membangun pusat penerjemahan yang fungsinya sekaligus sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan, sehingga Bagdad, ibu kota Khilafah Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
Al-Makmun wafat sewaktu berlangsungnya perang di Tarsus, dalam usia yang belum terlalu tua, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, bahwa ”Al-Makmun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. Usianya saat itu 48 tahun” ( 2008:127). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Makmun wafat pada tahun 218 H di usia 48 tahun.
2. Pemerintahan Abbasiyah
Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan Islam yang menaungi seluruh umat Islam setelah berakhirnya pemerintahan Khilafah bani Umayyah. Pemerintahan Abbasiyah biasanya disebut Khilafah Abbasiyah yaitu suatu sistem pemeritahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menerapkan hukum-hukum Islam dalam pemerintahan negara dan diyakini sebagai penerus Nabi dalam hal pemerintahan dan kekuasaan. Pemerintahan Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas Ash-Saffah. Hal ini sesuai keterangan Samsul Munir Amin (2009:138) dalam buku Sejarah Peradaban Islam, sebagai berikut.”Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Saffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama dalam Khilafah Abbasiyah. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M)”. Dari keterangan di atas dapat di pahami bahwa pemerintahan bani Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas Ash-Saffah pada tahun 656 Masehi dan pemerintahan ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yakni dari tahun 132 sebagai pusat sampai tahun 656 Hijriah.
Pemerintahan Abbasiyah dinisbatkan dengan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri pemerintahan Abbasiyah ini merupakan keturunan paman nabi Muhammad Abbas bin Abdul Muthalib, yakni generasi keempat Abbas bin Abdul Muthalib. Hal ini sesuai dengan pendapat Amin (2009:138) yang menyatakan bahwa, ”Pemerintahan Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pertama dari pemeritahan ini adalah Abdullah Ash-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa pemerintahan Abbasiyah adalah suatu pemerintahan Islam yang didirikan oleh Abdullah Ash-Saffah keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, Abbas sendiri adalah paman Nabi Muhammad SAW.
Pemerintahan Abbasiyah pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun mecapai kejayaan, sehingga disebut sebagai masa keemasan Islam, hal ini sesuai dengan pendapat Buchori (2009 : 91) yang menyatakan bahwa ”Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya, Al-Makmun, yang disebut ’Masa Keemasan Islam (The Golden Age of Islam)’”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kejayaan pemerintahan Abbasiyah terjadi pada masa Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Makmun.
Khilafah Bani Abbas yang berabad-abad memainkan peranan penting akhirnya mengalami kemundurun setelah diserang oleh pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan, hal berdasarkan keterangan Amin (2009 : 156) sebagai berikut.
Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/1258 M. Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah Barat dari Cina ke pangkuannya. Baghdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami kemerosotan dan keruntuhan setelah mendapat serangan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M dengan terbunuhnya Khalifah Al-Mu’thasim Billah. Tentara Mongol juga melakukan pengrusakan-pengrusakan dan buku-buku yang ada di Bait al-Hikmah dibakar dan dibuang oleh pasukan barbar tersebut kesungai Tigris, akibat banyaknya buku yang dibuang ke sungai Tigris menyebabkan warna air sungai berubah menjadi hitam.
3. Pengertian Pemahaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ”Pemahaman yaitu proses, pembuatan, cara memahami atau memahamkan” sedangkan kata ”Paham berarti mengerti benar akan atau tahu benar” (Depdikbud, 1997: 714). Sedangkan W.J.S. Poerwadarminta menyatakan paham adalah ”pengertian, pengetahuan banyak, mengerti benar, atau benar-benar memahami” (1976:714).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa pengertian pemahaman adalah merupakan upaya untuk menemukan suatu kejelasan tentang permasalahan yang ditemukan supaya diketahui secara maksimal supaya menjadi paham dan dapat memahami dengan mengerti.
Dari hasil penelitian Hery Noordiansyah (2009) dengann judul Perebutan Kekuasaan Antara Khalifah Al-Amin Dengan Al-Ma'mun (810-813 M) Dan Dampaknya Bagi Dinasti Abbasiyah. Secara umum kesimpulan dari hasil penelitian ini disebutkan bahwa, di balik kesuksesan yang dicapai, Kalifah Harun ar-Rasyid juga berhadapan dengan kesulitan dalam mengatur masalah suksesi.Ar-Rasyid, seperti yang dilakukan ayahnya, memutuskan bahwa kekhalifahan harus diwariskan kepada putra yang terbaik. Akan tetapi, ia memberi peringatan agar konflik harus dihindarkan dengan memproklamasikan secara terbuka dan memperinci hak serta kewajiban para calon khalifah. Untuk memberikan aura kesakralan pada nominasi sukses ini, tokoh-tokoh penting Dinasti Abbasiyah pergi menunaikan ibadah haji tahun 186 H. (802 M).
Di kota suci Mekah inilah diadakan upacara formal perjanjian. Salah satu isi dari perjanjian ini adalah penabalan kedua putra khalifah, Muhammad ( yang kemudian bergelar al-Amin, 809-813) dan Abdullah (bergelar al-Ma'mun, 813-833) sebagai calon pengganti Khalifah ar-Rasyid secara berurutan. Perjanjian ini menentukan bahwa Muhammad akan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, sementara Abdullah pada waktu yang bersamaan menjadi Gubernur Khurasan sebagai wilayah otonomi penuh secara militer dan secara ekonomi, terutama perpajakan. Meskipun perjanjian tersebut dimaksudkan untuk menghindari pertentangan antar kandidat, ternyata persaingan di antara keduanya tidak dapat dihindari.
Menjelang berakhirnya kekuasan Harun ar-Rasyid, pemerintah berhadapan dengan berbagai kerusuhan yang terjadi akibat adanya perebutan kekuasaan antara Khalifah al-Amin dan Khalifah al-Ma'mun. Ketegangan yang terjadi di antara keduanya mulai muncul dan berkembang berkaitan dengan status otonomi Propinsi Khurasan. Para perwira militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah al-Amin untuk menguasai propinsi penting ini.
#LATAR BELAKANG
Pembahasan
tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dibagi dalam lima
periodisasi, yaitu periode pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW, periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad
SAW wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, periode kejayaan (puncak
perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah
Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu
sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai
dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat
pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan periode pembaharuan pendidikan Islam
yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yang
ditandai dengan gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
Masa
Peradaban Islam mencapai puncak keemasan pada masa Daulah Dinasti Abbasiyah.
Pada masa ini Negara Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan dari bangsa barat.
Pada masa ini pula lahir beberapa ulama-ulama Islam yang tidak hanya
berkompeten dalam bidang agama. Akan tetapi mereka juga menjadi perintis dari
lahirnya beberapa ilmu dalam bidang eksakta. Sebagai contoh adalah
Al-Khawarizmi yang dalam teorinya memunculkan angka 0 sebagai kelengkapan dari
angka numerik arab. Kemudian ada Ar-Razi yang menemukan virus penyakit campak
sekaligus membuat vaksinnya. Ada lagi Ibnu Sina yang mendapat julukan dari
orang barat “ Bapak Kedokteran Modern” dengan karya-karyanya yang tidak perlu
diragukan lagi dalam memberikan kontribusi di dunia kedokteran. Kemudian Ibnu
Rusyd yang juga mengeluarkan karya dalam bidang filsafat dan kedokteran. Dan
yang terkhir ada Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali dengan karyanya yang sangat
fenomenal yakni Ihya’ Ulumuddin.
Popularitas
Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809
M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M)[1]. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
Masa Kekhalifahan Abdullah Al Ma’mun. Yang didalamnya meliputi biografi,
kebijakan-kebijakan pada masa kepemimpinannya, jasa-jasanya kepada para ilmuwan
Islam, dan juga tentang kontroversi pembunuhan terhadap saudaranya sendiri
“Al-Amin” serta kontroversi akan aliran “Mu’tazilah” yang dianutnya. Pembahasan pada
masa ini merupakan rangkaian pembahasan Sejarah Pendidikan Islam, Karena pada
hakikatnya suatu peristiwa sejarah seperti halnya Sejarah Pendidikan Islam
selalu berkaitan dengan peristiwa lainnya yang saling berhubungan yang
mengakibatkan terjadinya rentetan peristiwa serta memberinya dinamisme dalam
waktu dan tempat.
Semoga dengan makalah ini pembaca dapat
menambah pengetahuan tentang peristiwa sejarah khususnya Sejarah Pendidikan
Islam pada Masa Al-Ma’mun.
B.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibentuknya makalah ini terbagi menjadi dua yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya adalah untuk memngisahkan
kehidaupan dari pribadi Khalifah Muhammad Al-Ma’mun. Sedangkan untuk tujuan
khususnya yaitu untuk:
1.
Mempelajari
Biografi dari Khalifah Al-Makmun
2.
Memahami
kisah-kisah hidup Khalifah Al-Makmun
3.
Mencari
nilai pelajaran dari perjalanan hidup sang Khalifah
C.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ada pada makalah ini adalah :
1.
Ancaman-ancaman
serangan dari Negara lain
2.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh rakyat yang berbeda aliran dengan sang Khalifah
3.
Mempertahankan
kedaulatan Bani Abbasiyah yang terus dirongrong oleh para pemberontak yang
ingin mendirikan Kerajaan Sendiri
PEMBAHASAN
A.
Biografi Khalifah Al-Ma’mun
Abdullah Al-Makmun dilahirkan pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 170 H /
786 M, bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-Hadi dan naik tahta ayahnya,
Harun Al-Rasyid. Al-Makmun temasuk putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik
agama dan membaca Al-Qur'an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai
Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan kedua
puteranya Al-Makmun dan Al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya
itu belajar kitab Al-Muwattha, karangan Imam yang sangat singkat, Al-Makmun
telah menguasai Ilmu-ilmu kesusateraan, tata Negara, hokum, hadits, falsafah,
astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. Ia hafal Al-Qur'an begitu
juga menafsirkannya. Al-Makmun menjadi khalifah setelah saudaranya Al-Amin
meninggal dunia, sebagai khalifah yang ke-8 dari Daulah Abbasiyah, Ia terkenal
sebagai seorang administrator yang termasyhur karena kebijaksanaan dan
kesabarannya. Ia mencurahkan perhatiannya yang besar pada tugas reorganisasi pemerintahan
ketika mengalami kemunduran selama pemerintahan Al-Amin. Ia melakukan
peninjauan pengurus rumah tangga istana. Ia mengangkat para administrator yang
ahli unuk menjadi gubernur di berbagai propinsi dan terus mengawasi langkah
mereka.
Al-Yazidi adalah orang yang menggemblengnya. Dia sering kali
mengumpulkan para fukaha dari berbagai penjuru negeri. Dia memiliki pengetahuan
yang sangat luas dalam masalah fiqih, ilmu bahasa arab, dan Sejarah umat
manusia. Saat dia menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu filsafat
dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani sehingga membuatnya menjadi
seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu filsafat yang dia pelajari
telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Dia
adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang kuat,
kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian
dan ketolerannya. Dia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan
kebaikan-kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit
tercemari dengan peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk. Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang
lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium
yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah
‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya
adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah
(pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya
adalah As-Saffah, penengahnya adalah Al-Makmun dan penutupnya adalah
Al-Mu’tadhid.
B. Peperangan Dengan Saudaranya Al-Amin
Pada 802, Harun ar-Rasyid, ayah dari al-Ma'mun dan al-Amin memerintahkan al-Amin untuk
menggantikannya dan al-Ma'mun menjadi gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Dilaporkan bahwa al-Ma'mun
lebih tua dari dua saudaranya, tetapi ibunya berasal dari Persia, sedangkan ibu
Al-Amin merupakan anggota keluarga Abbasiyah. Setelah kematian ar-Rasyid pada
tahun 809, hubungan antara dua saudara tersebut memburuk. Sebagai balasan atas
gerakan al-Ma'mun diluar kekhalifahan, al-Amin mengangkat anaknya sendiri,
Musa, sebagai penggantinya. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap wasiat
ar-Rasyid, yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara dimana al-Ma'mun merekrut pasukan
Khurasani yang dipimpin oleh Tahir bin Husain (meninggal 822), mengalahkan
pasukan Al-Amin dan mengepung Baghdad. Pada 813, al-Amin dipenggal dan al-Ma'mun menjadi khalifah[2].
C.
Konsep Dasar
Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun
Pada masa khalifa ke-7 yaitu Al-Ma’mun ada dua
konsep dasar pendidikan, yaitu multikultural dan intuisi.
1.
Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Menurut pakar pendidikan, Azyumardi Azra
mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai “pendiidkan untuk atau tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokrafi dan kultur lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Hariansyah, ditinjau dari
sudut psikologi bahwa pendidikan multicultural memandang manusia memiliki
beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan.
Bahwa manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas (jama’),
heterogenitas (keanekaragaman), dan keberagaman manusia itu sendiri.
Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigm, pola pikir, kebutuhan, keinginan
dan tingkat intelektual.[3]
2.
Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam
Intuisi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun,
termasuk kategori lembaga pendidikan Islam yang klasik. George Maksidi membagi
intuisi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi pelajaran yang
diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua tipe, yaitu: intuisi pendidikan
inkluisif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan intuisi pendidikan eksklusif
(tertutup) terhadap pengetahuan umum.
Berdasarkan penggolongan George Maksidi,
Intuisi Pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Maktab/kuttab
adalah intuisi dasar, maka yang diajarkan di maktab/kuttab adalah khat,
kaligrafi, Al-Qur’an, akidah, dan syair.
b) Halaqah artinya
lingkaran (murid-murid yang melingkari gurunya yang duduk di atas lantai).
Halaqah merupakan intuisi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat
lanjutan.
c) Majelis
adalah intuisi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari
berbagai desiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam majelis,
yaitu: majelis Al-Hadits, Al-Tadris, Al-Munazharah, Al-Muzakarah, Al-Syu’ara,
Al-Adab, Al-Fatwa.
d) Masjid
merupakan intuisi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW.
e) Khan berfungsi
sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama satu
diantaranya fiqh
f) Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan diniawi
untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata.
g) Rumah-rumah
ulama digunakan untuk melakukan tranmisi ilmu agama, ilmu umum dan kemungkinan
lain petdebatan ilmiah.
h) Took buku dan
perpustakaan berperan sebagai tempat tranmisi ilmu dan islam.
i) Observatorium dan rumah sakit sebagai konsep
Dasar Pendidikan Multikultural di Intuisi Pendidikan Islam.[4]
D.
Jasa-Jasa Khalifah Al-Ma’mun
Untuk
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas
Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai
Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi
lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini
memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.
Lembaga
lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai
lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah,
masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh
kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu
pengetahuan dan puncak keemasan Islam.
Al-Makmun, pengganti Al-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya
buku-buku asing digalakkan.[5] Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak
mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang
kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan
penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab,
seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.[6]
Tim penerjemah yang dibentuk Al-Ma’mun terdiri
dari Hunain Ibn Ishaq sendiri dan dibantu anak dan keponakannya, Hubaish, serta
ilmu lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr
Matta ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibn ‘Adi, Yahya ibn Bitriq dan
lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan
naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan
seperti kedokteran, bidang astrologi, dan kimia.[7] Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.[8]
E.
Kontroversi-Kontroversi Al-Makmun
Salah satu kebijakan Al-Ma’mun yang paling
sering mendapat sorotan ahli sejarah adalah sifat eksklusifnya pada pandangan
Mu’tazilah. Kaum ini mendukung Al-Ma’mun menentang ahlisunnah serta ulama’
hadits. Al-Ma’mun ikut campur dalam masalah ideologi rakyatnya. Bahkan mendesak
untuk memegang ideologi Mu’tazilah. Maka wajar pada masa ini para ulama banyak
yang mengecamnya karena memberantas kebebasan. Bahkan tidak segan menggunakan
pedangnya untuk menindas ulama yang menentang prinsipnya.[9]
Khalifah
al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits,
sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan
antara kata-kata hadits dan hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat
Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini. Salah
satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud
al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau
Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan
dalam huruf dan bahasa Arab)?
Pada
tahun 210 H, al-Ma'mun menikah dengan Buran binti al-Hasan bin Sahl. Persiapan
pernikahan ini menelan biaya demikian banyak. Ayah Buran mencutikan beberapa
komandannya dan menugasi mereka untuk mengurusi perkawinan anaknya selama 17
hari. Dia menulis di atas beberapa carik kertas nama-nama ladang yang dia
miliki, lalu dia taburkan kertas itu kepada para komandan dan para pemuka Bani
Abbas. Barangsiapa yang mendapatkan kertas yang bertuliskan nama ladang, maka Buran
akan menyerahkan ladang itu kepadanya. Dia juga menaburkan guci yang berisi
permata di depan al-Ma'mun saat malam pengantin.
Pada
tahun 211 H, al-Ma'mun memerintahkan agar dikumandangkan bahwa dia berlepas
diri dari siapapun yang mengatakan bahwa Mu'awiyah itu adalah orang baik. Dia
juga memerintahkan kepada setiap orang bahwa orang yang paling mulia setelah
Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib. [10]
Pada tahun 212 H, al-Ma'mun menyatakan dengan
terang-terangan bahwa al-Qur'an adalah makhluk disamping perkataannya bahwa Ali
lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Akibatnya
kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu. Hampir saja ucapan-ucapan yang
sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan kaum muslimin.
Ternyata rakyat sangat peka dengan masalah yang mereka anggap sebagai bagian
penting dari agama itu. Akibat protes keras dari publik dan rakyatnya itu
menghentikan ide-ide kontroversial al-Ma'mun.[11]
PENUTUP
- Kesimpulan
Khalifah Al-Ma’mun mempunyai nama asli Abdullah
Al-Makmun atau Al-Makmun Al-Rasyid atau Al-Makmun bin Al-Rasyid
bin Al-Mahdi mempunyai gelar Abu Al-Abbas, lahir pada tanggal 15 Rabi'ul
Awal 170 H / 786 M. Seorang khalifah bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun
813-833. Ia memerintah Kerajaan Bani Abbasiyah menggantikan posisi ayahnya
yakni Harun Ar-Rasyid. Pada masa kepemimpinan beliau periode Islam
mencapai puncak keemasan. Dengan ditandai oleh munculnya para ilmuwan-ilmuwan
Islam pada zaman ini seperti Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan lain-lain
sebagainya. Sampai pada saat itu kota Baghdad menjadi kiblat dari para ilmuwan
dunia. Tak terkecuali oleh ilmuwan dari bangsa barat. Munculnya beberapa
ilmuwan Islam ini berkat terobosan beliau pada masa kepemimpinannya. Seorang
khalifah yang sangat menggilai ilmu ini mendatangkan beberapa buku dari Negara
Eropa sekaligus penterjemahnya. Buku-buku ini dikumpulkan di sebuah perpustakaan
yang berbasis perguruan tinggi yaitu Baitul Hikmah. Baitul hikmah ini
sendiri disebut-sebut sebagai jasa terbesar yang diberikan oleh Khalifah
Al-Makmun dalam Peradaban Islam.
Akan
tetapi dibalik kegemilangan dan keberhasilan Kerajaan Islam sebagai pusat
peradaban dunia pada masa ini. Khalifah Al-Makmun menyimpan sebuah kontroversi.
Beliau yang menganut aliran Syi’ah tidak segan-segan untuk menindas warganya
bahkan para Ulama’ yang tidak mau mengikuti alirannya. Selain itu, faham
Mu’tazilah yang dianutnya juga menyimpan sebuah perdebatan yang masih
diperdebatkan oleh para ulama.
Di
samping semua kontroversi yang ada, tetaplah wajib untuk kita mengenang jasa
Khalifah Al-Makmun. Karena berkat terobosan yang beliau lakukan, Islam bisa
berbicara lebih dalam dunia internasional. Khususnya pada bidang Ilmu
Pengetahuan. Berkat beliau jugalah Islam mampu menggapai puncak masa
keemasannya dan menjadi Kiblat dari seluruh peradaban di dunia pada masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar