Bismillaah Wal Hamdulillaah ...
Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ...
Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ...
Salah satu penyebab Takfir antara kaum
muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan
kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan
Furu’uddin.
Ushuluddin adalah pokok-pokok /
dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar
serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena
berdiri di atas dalil qoth’i yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan
kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan
adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu
penyimpangan yang wajib diluruskan.
Sedang Furu’uddin adalah cabang-cabang
/ ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak
prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah,
Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak
mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat
kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil
syar’i yang mu’tabar. Setiap perbedaan dalam Furu’ merupakan Ikhtilaf
yaitu khilafiyah yang wajib dihargai.
Baik Ushuluddin mau pun Furu’uddin
sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syar’i, Jika tidak ada Dalil
Syar’i, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furu’.
Karenanya, peranan Dalil Syar’i dalam Ushul dan Furu’ sangat penting dan
amat menentukan.
PERAN USHUL DAN FURU’
Karenanya, memahami Ushuluddin dan
Furu’uddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana
yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara
perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang
benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas
meluruskan terhadap penyimpangan.
Problemnya, banyak kalangan awam umat
Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furu’. Ada kelompok yang
melihat Ushul sebagai Furu’, sehingga mereka toleransi terhadap
Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furu’.
Contoh kasusnya adalah kelompok Islam
yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah
nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan
Furu’, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan
terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai
terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan.
Sebaliknya, ada lagi kelompok yang
melihat Furu’ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap
Perbedaan Furu’ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul.
Contoh kasusnya adalah kelompok Islam
yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya
lantaran Perbedaan Furu’, baik dalam soal Furu’ Aqidah seperti masalah
Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furu’ Syariah seperti Qunut
Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai
Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi
menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas
meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan.
Oleh sebab itu, umat Islam wajib
berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furu’, agar
mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi
lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau
Furu’ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai
Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud
mau pun Dilalah.
NILAI HUJJAH
Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syar’i kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah :
1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qoth’i secara Wurud.
2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud.
Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana
suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga
terbagi Dua Nilai Hujjah :
1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau
Mono Ta’wil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai
hujjahnya Qoth’i secara Dilalah.
2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah.
METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU
Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furu’ secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Jika suatu masalah memiliki Dalil
yang bernilai Qoth’i, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah
tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin.
Contoh : Firman Allah dalam
QS.112.Al-Ikhlas ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qoth’i
secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, dan Qoth’i juga secara
Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin.
Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT
tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa
menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir
dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam.
2. Jika suatu masalah memiliki Dalil
yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah
tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin.
Contoh : Hadits Nabi SAW dalam Sunan
Abi Daud hadits ke-3.121 dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke 10.913, tentang
perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas ”Mautaa” merupakan Dalil
Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara
Dilalah karena Multi Ta’wil, dimana kata ”Mautaa” bisa berarti orang
yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal
dunia, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin.
Karenanya, umat Islam berbeda pendapat
dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang
yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang
berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah
meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang
membolehkan keduanya.
3. Jika suatu masalah memiliki Dalil
yang bernilai Qoth’i dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi
Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin.
Contoh : Firman Allah dalam
QS.4.An-Nisaa : 43 dan QS.5.Al-Maa-idah : 6 tentang salah satu yang
membatalkan wudhu adalah ”Laamastumun Nisaa” merupakan Dalil Qoth’i
secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, namun Zhonni secara Dilalah
karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya ”menyentuh
perempuan” dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan
ada pula yang menafsirkannya ”menggauli perempuan”, maka hal ini
merupakan masalah Furu’uddin.
Karenanya, Ulama berbeda pendapat
dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan
mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan
menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya
dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak
membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu.
4. Jika suatu masalah memiliki Dalil
yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qoth’i dari segi
Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab.
Contoh : Hadits Nabi SAW tentang
pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara
Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qoth’i secara Dilalah
karena Mono Ta’wil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab.
Aswaja menjadikan iman kepada adanya
pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja,
karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan
dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Mu’tazilah menolaknya, karena
bagi Mu’tazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad
karena nilainya Zhonni, sehingga Mu’tazilah tidak percaya adanya
pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur.
Disini, Mu’tazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Mu’tazilah bukan Aswaja.
USHUL FURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ
Ushuluddin sering diidentikkan dengan
Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang
Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah
Furu’ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada
masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam
Furu’uddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq.
Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat
mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga
masalah Furu’ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah :
Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furu’ Syariat, Ushul
Akhlaq dan Furu Akhlaq.
Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak
pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah,
Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah
Furu’, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq.
CONTOH USHUL DAN FURU’
Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furu’ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain :
a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada
Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak
ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta
ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan
waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat
Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan
mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau hanya
melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Mu’tazilah, adalah
masalah Furu’ Aqidah.
b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban
Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah
Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat
Jama’ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga
Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah
Furu’ Syariah.
c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan
Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya
adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar
kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata
”Sayyiduna” bagi yang pria dan ”Sayyidatuna” bagi yang wanita, apakah
boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah
Furu’ Akhlaq.
USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB
Ushul Islam adalah Ushuluddin yang
mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap
perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan
secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan (Inhiraf). Dan
penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi
Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan.
Barangsiapa menolak atau membangkang
terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia
keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok /
dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta
fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan
sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang
mesti diluruskan.
Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah
dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu
Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan
terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait
Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah
pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu
Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya.
Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak
menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak
bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan
kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia
tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup
disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai
Ushul.
Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek
hukumnya menyerupai Furu’uddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar
Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta
tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori
Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah
perbedaan.
Namun demikian, masih banyak pihak
yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka
mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya.
KONSEKWENSI DUA USHUL
Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk :
1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan.
2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab.
Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab :
1. Kemakhluqan Al-Qur’an ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini
bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Mu’tazilah
meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.
Jika persoalan ini dikatagorikan
sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan
Mu’tazilah, dan sebaliknya Mu’tazilah pun menjadi kafir dalam pandangan
Ahlus Sunnah.
Namun, jika masalah ini dikatagorikan
sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qur’an
dipastikan bukan Mu’tazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan
Al-Qur’an dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh
dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks
hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori
Furu’uddin.
2. Ta’wil Ayat Sifat ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Salaf
mau pun Khalaf, meyakini bahwa menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan
Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan.
Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf
yang paling Aswaja, menolak ta’wil sifat-sifat Allah SWT, sehingga
mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung
dengan Makna Hakiki.
Jika persoalan ini dikatagorikan
sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan
Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus
Sunnah.
Namun, jika masalah ini dikatagorikan
sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Ta’wil Sifat dipastikan bukan
Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Ta’wil Sifat dipastikan bukan Ahlus
Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut,
karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori
Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin
3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat
meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali, radhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak
mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan
Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho,
Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim,
Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu
’anhum.
Jika persoalan ini dikatagorikan
sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan
Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam
pandangan Ahlus Sunnah.
Namun, jika masalah ini dikatagorikan
sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa
Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima
Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi
semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena
Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin,
tapi termasuk katagori Furu’uddin.
KESIMPULAN
Perbedaan Ushul dan Furu’ sesuai
dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh
masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan
ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Ushul berdasarkan dalil qoth’i, sedang Furu’ berdasarkan dalil zhonni.
2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furu’ tidak.
3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furu’ tidak.
4. Ushul harus disepakati, sedang Furu’ tidak mesti.
5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furu’ menerima.
6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furu’ ada yang bisa berubah.
7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furu’ tidak.
8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furu’ perbedaannya disebut Ikhtilaf.
9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furu’ perbedaannya harus dihargai.
10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furu’ perbedaannya melahirkan Madzhab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar