Perjalanan karir Amir Khan agaknya hampir mirip dengan gerakan anti
Syiah di Indonesia. Sama-sama tengah populer. Karena semenjak meletusnya
revolusi Arab Spring di Timur Tengah, milisi bentukan dan rezim Syiah
tak malu lagi menampakan diri. Juga sama dalam hal eksplosifnya
perlawanan Ahlusunnah terhadap segala sesuatu yang dianggap berbau
Syiah.
Beberapa tahun belakangan, aktivitas di dunia maya selalu ramai dengan perdebatan Sunni-Syiah. Mulai dari perdebatan ilmiah, teologis, hingga lontaran caci dan makian antar satu dengan lainnya. Broadcast-broadcast provokatif hingga gambar-gambar meme ikut bertebaran meramaikan perang urat syaraf ini. Perlawanan umat ini pada akhirnya loncat ke dunia nyata. Mulai dari pasang spanduk hingga pengerahan massa untuk berdemonstrasi saat acara-acara Syiah digelar. Ini menunjukkan bahwa gesekan antara Sunni dan Syiah bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele.
Jika berkaca pada sejarah, pertarungan antara Sunni-Syiah bukanlah pertentangan model baru. Kejayaan Syiah diraih pada masa Dinasti Fatimiyah, sekitar abad 10 Masehi. Sebelumnya, sekte menyimpang ini sudah ada namun tak pernah duduk di tampuk kekuasaan. Maka, pertarungan melawan Syiah harus dipahami sebagai sebuah pertarungan yang panjang. Karena, sebagaimana pada masa lampau, Dinasti Fatimiyah baru bisa ditaklukkan oleh wazir Nizamul Muluk, dan generasi selanjutnya seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi pada abad 12 Masehi.
Di masa itu, konflik Sunni-Syiah sudah terjadi di tingkat regional dan peradaban. Dunia Sunni merasakan ancaman yang serius dari pihak Syiah. Ini juga yang terjadi pada saat ini.
Maka, jika kelemahan internal pada diri Amir Khan adalah pelatih yang tidak kapabel dan terlalu menganggap remeh lawan. Hal itu juga terjadi pada gerakan anti Syiah yang merepresentasikan umat Islam. Bahkan, mungkin lebih kompleks.
Dulu yang dihadapi Syiah Ismailiyah, sekarang Itsna Asy’ariyah. Dulu pengaruh Syiah Ismailiyah tidak mengakar di tengah masyarakat Mesir. Mereka hanya berkuasa secara politik dan militer. Beda halnya dengan Itsna Asy’ariyah yang telah mensyiahkan masyarakat Iran sejak awal abad ke-16. Dulu kita punya Khalifah, sekarang tidak.
Dulu kita punya Imam al-Ghazali, wazir Nizam al-Muluk, yang kemudian melahirkan Nuruddin Zanki dan Salahuddin al-Ayyubi. Sekarang, kita belum punya semua itu.
Masalah Internal
“Itu bukan malamku,” ujar Khan. “Setelah menonton tayangan ulangnya aku pikir aku datang dengan tangan yang agak turun dan Danny (Garcia) mengambil keuntungan. Aku menghormati Danny, ia bertarung dengan sangat baik.”
Khan yang difavoritkan malam itu, tak mampu berbuat banyak ketika Garcia mengincar tubuhnya, memaksa Khan untuk menjatuhkan tangannya, dan melemparkan pukulan terbaiknya. Rencana sederhana. Eksekusi sempurna.
Malam itu Khan harus terjatuh di atas kanvas sebanyak tiga kali. Wasit Kenny Bayless memutuskan untuk menghentikan pertandingan meski Khan berkata bahwa ia masih kuat bertarung. Tapi, malam itu juga Khan menyadari kesalahannya.
Nasib Amir Khan, juga serupa dengan Muslim Ahlusunnah. Sempat dikalahkan oleh Syiah Fatimiyah, dan kemudian oleh pasukan salib, bukan semata-mata karena dirinya lemah. Tapi, disebabkan oleh masalah internal sendiri. Inilah yang terjadi hari ini.
Maka, secara mutlak harus disadari bahwa penyelesaian masalah Ahlu Sunnah pada masa itu adalah dengan membenahi masalah internal yang ada. Inti solusi kita pada hari ini juga bukan dengan cara menghabisi Syiah dengan pukulan kombinasi ala ‘King Khan’, melainkan dengan menyelesaikan masalah internal yang ada di tengah Ahlusunnah.
Pada era Imam al-Ghazali-Salahuddin Al-Ayyubi, senjata utama yang digunakan Ahlussunnah adalah pembenahan ilmu: keikhlasan dalam menuntut ilmu, menghilangkan fanatisme mazhab yang berlebihan, serta menggabungkan ilmu dengan kesalehan.
Untuk melawan Syiah, faktor fundamental yang perlu dimiliki umat Islam saat ini ialah Madrasah. Karena Madrasah merupakan wasilah penting untuk mendidik generasi. Madrasah melahirkan ulama. Ulama mendidik masyarakat. Kalau madrasahnya memiliki konsep yang baik, maka lahirlah para ulama yang lurus, dan seterusnya membentuk masyarakat yang ideal.
Di era modern ini wasilahnya bisa diperluas, termasuk di antaranya media massa. Pasalnya, media massa lah yang membentuk cara berpikir masyarakat dan membentuk opini publik.
Tanpa menihilkan peran satu sama lain, gerakan perlawanan terhadap
aliran sesat khususnya Syiah, memang harus dibangun dari semua lini.
Pendidikan, politik, budaya, juga militer. Tapi, yang tak kalah penting,
aktornya merupakan generasi yang terdidik. Cerdas secara intelektual
juga santun dalam berakhlak. Ia mampu menerapkan filosofi
permainan Muhammad Ali; menari seperti kupu-kupu, menyengat bagaikan lebah.
Beberapa tahun belakangan, aktivitas di dunia maya selalu ramai dengan perdebatan Sunni-Syiah. Mulai dari perdebatan ilmiah, teologis, hingga lontaran caci dan makian antar satu dengan lainnya. Broadcast-broadcast provokatif hingga gambar-gambar meme ikut bertebaran meramaikan perang urat syaraf ini. Perlawanan umat ini pada akhirnya loncat ke dunia nyata. Mulai dari pasang spanduk hingga pengerahan massa untuk berdemonstrasi saat acara-acara Syiah digelar. Ini menunjukkan bahwa gesekan antara Sunni dan Syiah bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele.
Jika berkaca pada sejarah, pertarungan antara Sunni-Syiah bukanlah pertentangan model baru. Kejayaan Syiah diraih pada masa Dinasti Fatimiyah, sekitar abad 10 Masehi. Sebelumnya, sekte menyimpang ini sudah ada namun tak pernah duduk di tampuk kekuasaan. Maka, pertarungan melawan Syiah harus dipahami sebagai sebuah pertarungan yang panjang. Karena, sebagaimana pada masa lampau, Dinasti Fatimiyah baru bisa ditaklukkan oleh wazir Nizamul Muluk, dan generasi selanjutnya seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi pada abad 12 Masehi.
Di masa itu, konflik Sunni-Syiah sudah terjadi di tingkat regional dan peradaban. Dunia Sunni merasakan ancaman yang serius dari pihak Syiah. Ini juga yang terjadi pada saat ini.
Maka, jika kelemahan internal pada diri Amir Khan adalah pelatih yang tidak kapabel dan terlalu menganggap remeh lawan. Hal itu juga terjadi pada gerakan anti Syiah yang merepresentasikan umat Islam. Bahkan, mungkin lebih kompleks.
Dulu yang dihadapi Syiah Ismailiyah, sekarang Itsna Asy’ariyah. Dulu pengaruh Syiah Ismailiyah tidak mengakar di tengah masyarakat Mesir. Mereka hanya berkuasa secara politik dan militer. Beda halnya dengan Itsna Asy’ariyah yang telah mensyiahkan masyarakat Iran sejak awal abad ke-16. Dulu kita punya Khalifah, sekarang tidak.
Dulu kita punya Imam al-Ghazali, wazir Nizam al-Muluk, yang kemudian melahirkan Nuruddin Zanki dan Salahuddin al-Ayyubi. Sekarang, kita belum punya semua itu.
Masalah Internal
“Itu bukan malamku,” ujar Khan. “Setelah menonton tayangan ulangnya aku pikir aku datang dengan tangan yang agak turun dan Danny (Garcia) mengambil keuntungan. Aku menghormati Danny, ia bertarung dengan sangat baik.”
Khan yang difavoritkan malam itu, tak mampu berbuat banyak ketika Garcia mengincar tubuhnya, memaksa Khan untuk menjatuhkan tangannya, dan melemparkan pukulan terbaiknya. Rencana sederhana. Eksekusi sempurna.
Malam itu Khan harus terjatuh di atas kanvas sebanyak tiga kali. Wasit Kenny Bayless memutuskan untuk menghentikan pertandingan meski Khan berkata bahwa ia masih kuat bertarung. Tapi, malam itu juga Khan menyadari kesalahannya.
Nasib Amir Khan, juga serupa dengan Muslim Ahlusunnah. Sempat dikalahkan oleh Syiah Fatimiyah, dan kemudian oleh pasukan salib, bukan semata-mata karena dirinya lemah. Tapi, disebabkan oleh masalah internal sendiri. Inilah yang terjadi hari ini.
Maka, secara mutlak harus disadari bahwa penyelesaian masalah Ahlu Sunnah pada masa itu adalah dengan membenahi masalah internal yang ada. Inti solusi kita pada hari ini juga bukan dengan cara menghabisi Syiah dengan pukulan kombinasi ala ‘King Khan’, melainkan dengan menyelesaikan masalah internal yang ada di tengah Ahlusunnah.
Pada era Imam al-Ghazali-Salahuddin Al-Ayyubi, senjata utama yang digunakan Ahlussunnah adalah pembenahan ilmu: keikhlasan dalam menuntut ilmu, menghilangkan fanatisme mazhab yang berlebihan, serta menggabungkan ilmu dengan kesalehan.
Untuk melawan Syiah, faktor fundamental yang perlu dimiliki umat Islam saat ini ialah Madrasah. Karena Madrasah merupakan wasilah penting untuk mendidik generasi. Madrasah melahirkan ulama. Ulama mendidik masyarakat. Kalau madrasahnya memiliki konsep yang baik, maka lahirlah para ulama yang lurus, dan seterusnya membentuk masyarakat yang ideal.
Di era modern ini wasilahnya bisa diperluas, termasuk di antaranya media massa. Pasalnya, media massa lah yang membentuk cara berpikir masyarakat dan membentuk opini publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar