Minggu, 05 Juni 2016

HAMNAH JAHSYI RADHIYALLAHHU 'ANHA

Hamnah bintu Jahsyi Wanita mana yang tidak sedih kehilangan suami tercinta. Demikianlah yang dialami Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kematian saudaranya, Abdullah bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu di perang Uhud, Hamnah bisa bersikap tegar. Begitupun dengan berita kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Mutht thalib radhiyallahu ‘anhu. Namun ketika sampai kabar kematiaan suaminya, ia pun tak kuasa menahan kesedihannya yang begitu mendalam. Sebagaimana para shahabat, ketegarannya menjalani ujian-ujian Allah telah mengantarkannya pada kemulian hidup di dunia dan di akhirat. Wanita mulia ini bernama Hamnah bintu Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mur bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanm bin Dudan bin Asad Al-Asadiyah dari Bani Asad bin Khuzaimah. Dia bersaudara dengan istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha dan Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, serta ‘Abdullah bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu yang gugur di perang Uhud. Ibunya adalah bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umaimah bintu ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay. Dialah satu di antara wanita-wanita yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hamnah radhiyallahu ‘anha dipersunting oleh seorang pemuda yang mulia, Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin ‘Abdid Dar. Mereka dikaruniai seorang putri. Tahun ketiga Hijriyah datang menjelang. Bulan Syawwal, tiba saat kaum muslimin kembali berhadapan dengan pasukan musyrikin di medan Uhud setelah memperoleh kemenangan di perang Badr. Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu adalah pemegang bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan ini. Hamnah turut terjun dalam kecamuk perang untuk memberi minum pasukan, mengusung orang-orang yang terluka dan mengobatinya. Peperangan berlangsung dahsyat. Dengan hikmah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasukan muslimin saat itu mengalami kekalahan. Banyak shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur dalam pertempuran itu. Usai peperangan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan kembali ke Madinah. Para wanita menanti-nanti dengan penuh harap dan tanya, bagaimana keadaan ayah, suami, anak atau kerabat mereka yang turut berperang. Tak ada yang mendapatkan berita hingga mereka datang di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada beliau setiap wanita itu bertanya dan beliau mengabarkan keadaannya. Begitu pula Hamnah, dia pun menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi saudaramu, ‘Abdullah bin Jahsy,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hamnah beristirja’ dengan tabah. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kita ini milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosanya,” ujarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi padanya, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi pamanmu, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib.” Hamnah kembali beristirja’, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi suamimu, Mush’ab bin ‘Umair.” Hamnah pun memekik, “Aduhai, peperangan!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya padanya, “Mengapa engkau mengatakan seperti itu saat mendengar kabar Mush’ab, sementara engkau tidak mengatakannya untuk yang lain?” “Wahai Rasulullah,” jawab Hamnah, “Aku mengingat putrinya yang kini telah menjadi yatim.” Hamnah menjalani kehidupannya bersama putrinya hingga datang seorang mulia yang mendapat kabar gembira dengan surga, Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, mengajaknya untuk bersanding dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Dari pernikahan itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniai mereka dua orang anak, Muhammad dan ‘Imran. Waktu pun berlalu. Sepulang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Bani Al-Mushthaliq, terjadi peristiwa besar. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh dengan tuduhan keji yang disebarkan oleh gembong munafikin, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Begitu tersebar berita itu dan begitu hebat pengaruhnya dalam diri orang-orang saat itu, hingga di antara para sahabat ada yang sampai terjatuh dalam kesalahan turut menyebarkan berita tersebut. Salah satunya adalah Hamnah. Ia melakukannya karena pembelaannya terhadap Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha yang juga istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Zainab sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan tak ada yang keluar dari lisannya tentang ‘Aisyah kecuali kebaikan semata. Ketika telah turun ayat bara’ah yang menyatakan kesucian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari perbuatan yang dituduhkan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar dan berkhutbah. Beliau lalu memerintahkan ditegakkan hukum had atas tiga orang shahabat yang jatuh dalam kesalahan itu dengan dicambuk. Mereka adalah Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah serta Hamnah bintu Jahsy, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka semuanya. Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha dengan dua saudara perempuannya, Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha dan Zainab radhiyallahu ‘anha adalah para wanita yang tertimpa istihadhah. Untuk itulah Hamnah pernah menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu tengah berada di rumah Zainab. Hamnah mengadu untuk meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalahnya, “Wahai Rasulullah, aku mengalami istihadhah dengan keluar darah yang sangat banyak dan terus-menerus. Apa yang hendak kauperintahkan padaku berkenaan dengan itu, karena aku telah terhalang melakukan puasa dan menunaikan shalat.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban kepadanya, “Sesungguhnya itu termasuk gangguan setan. Tentukan masa haidmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila engkau telah suci, shalatlah selama duapuluh empat atau duapuluh tiga hari dan puasalah. Ini cukup bagimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana para wanita yang lain pada masa haid dan sucinya.” Fatwa yang dia inginkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuahkan faidah yang terus dapat dipetik oleh kaum wanita hingga akhir zaman. Kebaikan yang begitu besar yang ada pada dirinya. Hamnah bintu Jahsy, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya. Sumber : - Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (6/18, 7/586), - Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1813), - Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/241), - Mukhtashar Siratir Rasul, karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal.161- 168), - Siyar A’lamin Nubala’, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/215-216), - Tuhfatul Muhtaj, karya Al-Imam Ibnul Mulaqqin (1/235-236, 2/479-480), Penulis Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran, asysyariah.com, cerminan shalihah). http://play.google.com/store/apps/details?id=com.ahlulhadits

Tidak ada komentar: