Sabtu, 13 Februari 2016

Keinginan Riyadh Berperan Lebih Aktif di Suriah

Ketika AS pertama kali membentuk koalisi anti-ISIS pada bulan September 2014, Arab Saudi merupakan negara Arab pertama yang ikut bergabung.  Sejak konflik Suriah pecah, posisi kerajaan alu-Suud itu juga sangat jelas, yaitu Basyar Assad harus pergi dari kursi kekuasaan. Tidak lama setelah itu mereka ikut melancarkan serangan udara ke Suriah.  Aksi langsung ini dengan segera diumumkan pada bulan Maret menyusul intervensi militer kerajaan itu ke Yaman, sebuah keterlibatan yang semakin luas melebihi harapan Arab Saudi sendiri.
Saat ini terlihat bahwa Arab Saudi ingin mengambil peran yang lebih aktif sekali lagi dalam konflik di Suriah. Juru bicara militer Brigadir Jenderal Ahmed al-Asiri mengatakan kepada stasiun TV al-Arabiya, “Kerajaan siap berpartisipasi di setiap medan operasi di Suriah apabila koalisi menyetujuinya”.  Ia menambahkan, “Apabila sudah dicapai konsensus di antara para pemimpin koalisi, kerajaan ingin ambil bagian dalam aksi tersebut karena kami percaya bahwa operasi udara saja bukanlah solusi yang ideal, harus digabungkan antara operasi udara dan darat.”
Asiri tidak secara spesifik menyebutkan jumlah pasukan yang akan dikerahkan, namun beberapa pejabat lainnya memberi bocoran bahwa ribuan personil pasukan khusus bisa saja dikerahkan, dan kemungkinan akan berkoordinasi dengan Turki. Pihak militer Rusia mengatakan, mereka punya alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa Turki sedang melakukan persiapan intensif untuk sebuah invasi militer ke Suriah. Menteri Luar Negeri Turki sendiri menolak berkomentar. Dilaporkan bahwa Turki dan Arab Saudi telah sepakat dan membentuk sebuah tim koordinasi militer bersama beberapa pekan sebelumnya.
Kedua negara, Arab Saudi dan Turki, sejak lama sama-sama komitmen untuk melengserkan Basyar Assad. Kerajaan itu juga meyakini bahwa perang sipil di Suriah tidak akan bisa diakhiri hanya dengan solusi politik tanpa tekanan militer yang lebih besar terhadap rezim Suriah. Tawaran Saudi untuk mengirim pasukan darat ke Suriah akan menjadi agenda diskusi saat AS menggelar pertemuan yang akan dihadiri oleh para menteri pertahanan negara-negara anggota koalisi anti-ISIS di Brussel pekan depan.
Dari sisi Arab Saudi sendiri frustrasi atas keengganan sekutu-sekutu Barat untuk meningkatkan dukungan militer kepada kelompok-kelompok oposisi mulai dari yang berhaluan liberal-sekuler hingga Islamis-Jihadis yang terkait dengan al-Qaidah. Hal ini bisa difahami karena negara-negara anggota koalisi memiliki prioritas dan agenda masing-masing. Bagi Amerika, prioritas utama mereka adalah “perang melawan ISIS”, sementara bagi poros Saudi-Turki-Qatar menghendaki lengsernya Basyar Assad. Menteri Pertahanan AS Ash Carter menyambut baik tawaran Saudi tersebut dengan mengatakan bahwa keterlibatan negara-negara lain yang semakin besar akan membantu Amerika dalam memerangi ISIS.
Selama lima tahun perang Suriah, pemerintah negara Timur Tengah dan Barat telah memberikan bantuan berupa uang dan senjata kepada kelompok-kelompok oposisi. Tetapi keterlibatan atau pengerahan pasukan darat dinilai akan menandai adanya perubahan besar dan strategis. Lalu, apa dampaknya pengerahan pasukan darat Arab Saudi di Suriah? Tentu saja hal itu akan semakin meningkatkan intensitas keterlibatan dunia internasional dalam konflik di Suriah yang selama ini sudah sedemikian berkembang menjadi perang proksi antar pihak-pihak yang berkepentingan.
Sejumlah analis melihat bahwa kehadiran pasukan darat Saudi merupakan sebuah pesan kepada Rusia yang saat ini terus melancarkan serangan udara masif untuk mendukung Basyar Assad, termasuk untuk memaksa supaya kembali ke meja perundingan. Sebagaimana banyak diprediksi sebelumnya, negosiasi yang baru-baru ini digelar di bawah pengawasan PBB kembali gagal karena minimnya progress bagi penyelesaian konflik. Sementara serangan-serangan udara Rusia beberapa kali berhasil membantu pasukan rezim Assad memperoleh kembali sejumlah wilayah.
Amerika Serikat sendiri sejak lama menolak mengirim pasukan darat ke Suriah, sebaliknya Washington meminta pasukan negara-negara di kawasan tersebut diterjunkan untuk stabilisasi dan keamanan wilayah. Namun masih ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab tentang motivasi Arab Saudi, karena kita tidak mungkin melihat konflik Suriah dengan menutup mata terhadap perseteruan regional antara Arab Saudi dan Iran. Iran, sebagaimana Rusia mendukung rezim dengan memberikan bantuan yang bukan hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga personil militer. Intervensi Saudi di Yaman merupakan suatu bentuk kekhawatiran kerajaan tersebut terhadap campur tangan dan pengaruh Iran yang semakin besar di negara tetangganya. Maka aksi militer Saudi di Suriah dinilai didasari atas motivasi dan keinginan negara kerajaan itu untuk mengirim pesan kepada rivalnya.
Hal itu bukanlah sesuatu yang baru, bahwa negara-negara di kawasan Teluk bersama dengan Turki telah lama melihat konflik Suriah sebagai salah satu bagian dari upaya yang lebih luas secara regional dalam menghadapi Iran. Hingga saat ini, mereka masih memilih opsi mempersenjatai kelompok-kelompok oposisi daripada menggelar intervensi militer langsung dan berskala luas. Salah satunya karena sebagian besar sumber daya telah dikerahkan di Yaman, tetapi juga kemungkinan karena mereka tahu bahwa ada resiko eskalasi konflik akan semakin meluas dan itu sangat berbahaya.
Banyak analis yang menyampaikan pandangan mereka bahwa penyelesaian paripurna bagi konflik di Suriah tidak akan bisa dicapai tanpa adanya invasi oleh pasukan darat dalam batas tertentu. Tetapi tentu saja dari sudut pandang yang kontra dengan analisa tersebut menganggap bahwa pengerahan pasukan darat akan berisiko lebih jauh meningkatkan pertumpahan darah, di samping menyeret pihak/elemen luar ke dalam pusaran konflik dan pertempuran yang sudah sedemikian rumit.
Usulan Arab Saudi barangkali akan disambut positif oleh beberapa sekutu kuat mereka, tetapi di sana ada satu keprihatinan yang sudah tidak diragukan lagi mengenahi keterlibatan Riyadh dan Teheran dalam situasi konfrontatif dan berhadap-hadapan di sejumlah medan konflik di kawasan itu. Jika ketegangan semacam ini terus meningkat, tidak mustahil akan menjerumuskan kawasan itu ke dalam ketidakstabilan hingga pada tingkat yang paling berbahaya dari yang pernah terjadi selama ini.

Tidak ada komentar: