Ismail ‘alaihissalaam berkuasa di Mekkah dan mengurus Ka’bah selama
hidupnya.[6] Beliau meninggal pada usia 137 tahun.[7] Selanjutnya, dua
putranya menggantikan kedudukannya secara berurutan, yaitu Nabat dan
Qaidar. Ada yang berpendapat sebaliknya, yakni Qaidar lebih dahulu.
Setelah itu Mudhadh bin Amru Al-Jurhumi. Dengan demikian kepemimpinan
Mekkah beralih ke tangan mereka. Anak-anak Ismail merupakan titik pusat
kemuliaan, sebab ayahnya yang telah membangun Ka’bah namun mereka tidak
mempunyai kewenangan memerintah sama sekali.[8]
Seiring dengan perjalanan waktu, kedudukan anak cucu Ismail terus mengalami kemerosotan hingga keberadaan Jurhum bertambah lemah dengan kemunculan Nebukadnezar. Bintang Bani Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Mekkah sejak saat itu. Buktinya, saat Nebukadnezar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq, komandan pasukan bangsa Arab dalam peperangan itu bukan berasal dari Bani Jurhum.[9]
Bani Adnan berpencar ke Yaman pada saat perang Nebukadnezar II (587 M), lalu pergi bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Nebukadnezar mulai mengendur, Ma’ad kembali ke Mekkah. Namun dia idak mendapatkan seorang pun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putrinya, Mu’anah dan melahirkan seorang anak yang dinamai Nazar.[10]
Keadaan Bani Jurhum di Mekkah mulai memburuk dan keadaan mereka semakin sulit. Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghasilkan harta di Ka’bah. [11] Hal ini membuat murka orang-orang Bani Adnan. Tatkala Bani Khuza’ah tiba di Marru Zhahran dan bertemu dengan beberapa orang dari Bani Adnan yang merupakan keturunan Jurhum, mereka pun memanfaatkan kesempatan itu. Atas bantuan suku-suku Adnan yang lain, mereka menyerang Jurhum hingga dapat diusir dari Mekkah. Dengan demikian, Bani Khuza’ah berkuasa di sana pada pertengahan abad kedua masehi.
Tatkala Bani Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur Zamzam untuk mencari tempatnya secara persis, lalu mengubur berbagai macam benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, “Amru bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi[12] keluar sambil membawa tabir Ka’bah [13] dan Hajar Aswad, lalu menguburkannya di sumur Zamzam. Setelah itu, dia bersama orang-orang Jurhum berpindah ke Yaman. Tentu saja mereka sangat sedih karena harus meninggalkan kekuasaan mereka di Mekkah. Tentang hal ini, Amru berkata di dalam syairnya: [14]
Seolah tiada teman bagi si pemalas saat ke Shafa
Tiada pula orang yang diajak mengobrol di Mekkah
Kitalah penduduknya dan senantiasa berada di sana
Menyertai taburan debu dan malam-malam yang berubah
Zaman Ismail ‘alaihissalaam diperkirakan berlangsung dua puluh abad sebelum Masehi. Sedangkan keberadaan Jurhum di Mekkah diperkirakan sekitar 21 abad. Mereka berkuasa selama 20 abad. Khuza’ah menangani urusan kota Mekkah bersama Bani Bakar. Namun kabilah-kabilah Mudhar juga mempunyai tiga bidang penanganan yaitu:
6. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230-237.
7. Kitab Kejadian, XXV/7.
8. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230-237; Ibnu Hisyam, 1/111. Ibnu Hisyam menyebutkan kekuasaan hanya diperoleh Nabat saja, dari keturunan Ismail.
9. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230.
10. Rahmatun lil ‘Alamin, 2/48
11. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 231
12. Ini bukan Mudhadh Al-Jurhumi yang telah disebutkan di dalam kisah Ismail.
13. Al-Mas’udi mengatakan, “Persia mempersembahkan harta dan permata ke Ka’bah pada zaman ini. Sasan bin Babak pernah mempersembahkan dua pintalan tabir dari emas dan permata.
Seiring dengan perjalanan waktu, kedudukan anak cucu Ismail terus mengalami kemerosotan hingga keberadaan Jurhum bertambah lemah dengan kemunculan Nebukadnezar. Bintang Bani Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Mekkah sejak saat itu. Buktinya, saat Nebukadnezar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq, komandan pasukan bangsa Arab dalam peperangan itu bukan berasal dari Bani Jurhum.[9]
Bani Adnan berpencar ke Yaman pada saat perang Nebukadnezar II (587 M), lalu pergi bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Nebukadnezar mulai mengendur, Ma’ad kembali ke Mekkah. Namun dia idak mendapatkan seorang pun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putrinya, Mu’anah dan melahirkan seorang anak yang dinamai Nazar.[10]
Keadaan Bani Jurhum di Mekkah mulai memburuk dan keadaan mereka semakin sulit. Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghasilkan harta di Ka’bah. [11] Hal ini membuat murka orang-orang Bani Adnan. Tatkala Bani Khuza’ah tiba di Marru Zhahran dan bertemu dengan beberapa orang dari Bani Adnan yang merupakan keturunan Jurhum, mereka pun memanfaatkan kesempatan itu. Atas bantuan suku-suku Adnan yang lain, mereka menyerang Jurhum hingga dapat diusir dari Mekkah. Dengan demikian, Bani Khuza’ah berkuasa di sana pada pertengahan abad kedua masehi.
Tatkala Bani Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur Zamzam untuk mencari tempatnya secara persis, lalu mengubur berbagai macam benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, “Amru bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi[12] keluar sambil membawa tabir Ka’bah [13] dan Hajar Aswad, lalu menguburkannya di sumur Zamzam. Setelah itu, dia bersama orang-orang Jurhum berpindah ke Yaman. Tentu saja mereka sangat sedih karena harus meninggalkan kekuasaan mereka di Mekkah. Tentang hal ini, Amru berkata di dalam syairnya: [14]
Seolah tiada teman bagi si pemalas saat ke Shafa
Tiada pula orang yang diajak mengobrol di Mekkah
Kitalah penduduknya dan senantiasa berada di sana
Menyertai taburan debu dan malam-malam yang berubah
Zaman Ismail ‘alaihissalaam diperkirakan berlangsung dua puluh abad sebelum Masehi. Sedangkan keberadaan Jurhum di Mekkah diperkirakan sekitar 21 abad. Mereka berkuasa selama 20 abad. Khuza’ah menangani urusan kota Mekkah bersama Bani Bakar. Namun kabilah-kabilah Mudhar juga mempunyai tiga bidang penanganan yaitu:
- Menjaga keamanan manusia dari Arafah hingga Mudzalifah, dan memberi izin kepada mereka saat meninggalkan Mina, yang boleh dilakukan setelah Bani Ghauts bin Murrah dari suku Ilyas bin Mudhar yang disebut Shaufah. Artinya, siapapun tidak boleh melempar jumrah sebelum salah seorang dari Shaufah yang melakukannya. Bila semua orang telah selesai melempar jumrah dan hendak meninggalkan Mina, orang-orang Shaufah berada di antara dua sisi Aqabah dan tidak ada seorangpun yang boleh melewati sebelum mereka melewatinya. Setelah orang-orang Shaufah musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa’ad bin Zaid dari Tamim.
- Melakukan Ifadhah (bertolak) dari Juma’ pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina; urusan ini diserahkan kepada Bani ‘Udwan.
- Menangguhkan bulan-bulan haram yang menjadi wewenang Bani Tamim bin Adi dari Bani Kinanah. [15]
6. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230-237.
7. Kitab Kejadian, XXV/7.
8. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230-237; Ibnu Hisyam, 1/111. Ibnu Hisyam menyebutkan kekuasaan hanya diperoleh Nabat saja, dari keturunan Ismail.
9. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 230.
10. Rahmatun lil ‘Alamin, 2/48
11. Qalbu Jaziratil ‘Arab, hal. 231
12. Ini bukan Mudhadh Al-Jurhumi yang telah disebutkan di dalam kisah Ismail.
13. Al-Mas’udi mengatakan, “Persia mempersembahkan harta dan permata ke Ka’bah pada zaman ini. Sasan bin Babak pernah mempersembahkan dua pintalan tabir dari emas dan permata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar