Toleransi Imam Syafi’i dan Imam Malik Dalam Hukum Qunut Subuh
25
Selasa
Jun 2013
in
Diakui ataupun tidak, Ego madzhab telah
membuat kita pecah belah dan menimbulkan gesekan keragaman dalam islam
padahal Imam dari Madzhab itu sendiri samasekali tidak menginginkan hal
ini terjadi, keragaman dan ukhuwah islamiyah adalah hal utama yang harus
kita jaga bersama, dan ukhuwah ini tidak akan terbentuk dengan
sendirinya tanpa adanya saling menghargai antara sesama muslim dan
menjadi orang yang bermadzhab namun tetap menghargai madzhab yang lain.
Kisah yang saya ambil dari Detik Ramadhan dan Alifmagz.com
ini semoga membuka mata batin kita, yang selama ini tertutup, mungkin
karena kejumudan dan taqlid buta (Mengikuti Sesuatu tanpa mengetahui
sumber hukumnya) pada imamnya masing-masing hingga antara satu dengan
yang lain saling memproklamirkan bahwa madzhabnya yang paling benar.
Imam Syafi’i adalah seorang tokoh besar
pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau dikenal sangat cerdas. Ada yang
mengatakan bahwa sejak usia 7 tahun sudah hafal al-Qur’an. Beliau bukan
berasal dari keluarga yang berkelebihan. Namun berkat kecerdasannya itu,
beliau bisa belajar pada seorang guru di Mekah tanpa mengeluar biaya
sedikit pun.
Imam Malik juga tokoh besar pendiri
Mazhab Maliki. Beliau berasal dari keluarga terhormat, baik sebelum
maupun sesudah datangnya Islam. Kakeknya, Abu Amir termasuk keluarga
pertama yang memeluk agama Islam dan juga menjadi ulama hadis terpandang
di Madinah. Sejak Muda, Imam Malik menjadi orang yang cinta kepada
ilmu. Beliau belajar ilmu hadis pada ayah dan paman-pamannya.
Al-Muwatta’, kitab fikih yang berdasar dari kumpulan hadis-hadis
pilihan, adalah kitab karangan beliau yang menjadi pegangan para santri
sampai sekarang.
Imam Syafi’i dan Imam Malik bertemu di
Madinah. Ceritanya, setelah berguru pada banyak ulama di Mekah, Imam
Syafi’i ingin sekali melanjutkan pengembaraannya ke Madinah. Apalagi
beliau mengetahui di Madinah ada Imam Malik, ulama yang termashur itu.
Di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i mengucal al-Muwatta’, kitab yang
sebelumnya sudah dihafalnya saat berada di Mekah. Imam Malik sangat
kagum pada Imam Syafi’i dan begitulah hubungan antara kedua tokoh besar
itu selanjutnya.
Dalam tradisi Mazhab Syafi’i, saat
melaksanakan shalat Shubuh dibacakan doa Qunut. Berbeda dalam tradisi
Mazhab Maliki, tak ada doa Qunut dalam salat subuh. Namun, perbedaan
tradisi itu tak membuat hubungan keduanya retak. Mereka tetap menjadi
guru dan murid yang saling menghormati pendapat masing-masing.
Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan
menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap itu sudah
menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi
imam saat melaksanakan salat subuh. Karena ingin menghormati gurunya,
Imam Syafi’i tak membaca doa Qunut dalam salat berjama’ah itu.
Begitu pun sebaliknya. Di lain hari, Imam
Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat Shubuh, mereka
melaksanakan salat subuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya
menjadi imam salat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa
Qunut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar