إِنَّ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ
يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا
إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ
يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا (109)
“
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka
mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami,
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 107-109)
Dalil-dalil di atas menunjukkan secara implisit bahwa orang yang
menangis dalam shalat karena takut pada Allah, tidak membatalkan shalat.
Juga telah ada bukti secara eksplisit bahwa Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat Abu Bakr
radhiyallahu ‘anhu menangis dalam shalatnya.
Lantas menangis seperti apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah berkata,
“Menangis ketika membaa Al-Qur’an, saat sujud, begitu pula saat berdo’a
adalah sifat orang-orang shalih. Bahkan orang seperti itu layak
dipuji.” (
Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 13: 238)
Adapun jika menangis karena urusan duniawi dan tidak bisa dicegah,
shalatnya tidaklah batal. Adapun jika mampu untuk dicegah dan
menangisnya dengan suara, maka shalatnya batal menurut para imam dari
empat madzhab. Namun Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam hal ini
menyatakan batal dengan syarat jika muncul dua huruf. (Lihat
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8: 170)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah menerangkan,
“Menangis dalam shalat jika karena takut pada Allah dan mengingat
perkara akhirat, begitu pula karena merenung ayat yang dibaca seperti
saat melewati ayat-ayat yang menyebutkan janji dan ancaman, maka tidak
membatalkan shalat. Adapun jika menangis tersebut karena musibah yang
menimpa atau semacamnya, maka membatalkan shalat. Bisa membatalkan
karena menangis tersebut berkaitan dengan perkara di luar shalat.
Karenanya memikirkan perkara-perkara di luar shalat atau perkara lain
mesti dihilangkan agar tidak membatalkan shalat. Intinya, memikiran
berbagai macam hal yang tidak terkait dengan shalat berakibat kekurangan
saja di dalam shalatnya.” (
Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 9: 141)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar