Ketegangan yang masih menyelimuti kawasan Timur Tengah, menyusul
hukuman mati terhadap aktivis Syiah Arab Saudi, Nimr Baqir al Nimr,
mengingatkan kita akan sejarah hubungan Sunni-Syiah yang nyaris tak
pernah akur. Pertentangan antara keduanya muncul tak lama setelah Nabi
Muhammad SAW meninggal dunia.
Para pengikut Syiah beranggapan bahwa yang layak menggantikan Nabi Muhammad SAW tak lain adalah Ali bin Abu Thalib. Selain menjadi menantu Rasulullah dengan mempersunting Fatimah, Ali juga sepupu Muhammad SAW dan pemuda pertama yang mengakui kenabiannya. Sejarah juga mencatat Ali dan Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW, melaksanakan shalat berjemaah pertama di dunia di dekat Kakbah dengan imam Rasulullah Muhammad SAW.
Kelompok Syiah yang ekstrem bahkan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar al Faruq, dan Utsman bin Affan, tiga khalifah sebelum Ali diangkat menggantikan Utsman. Kesetiaan pengikut Ali makin mengental setelah Ali RA dibunuh oleh Abdur-Rahman bin Muljam, konon orang yang hafal Al Quran, puasa di siang hari, dan shalat tahajud di malam hari.
Inilah sedikit latar belakang munculnya pengelompokan dalam tubuh Islam, yang terus bertahan hingga sekarang. Tiap-tiap kelompok itu mengaku paling benar sehingga memunculkan ketegangan di antara pengikutnya.
Ketegangan tersebut makin menjadi karena persoalan politik ikut mewarnai di dalamnya. Ketika Ali menjadi khalifah dan kemudian terbunuh, Gubernur Damaskus Muawiyah bin Sufyan mengambil keuntungan atas peristiwa itu. Di benak Muawiyah, Ali-lah yang selama ini dianggap menjadi penghalang baginya untuk mendirikan kerajaan.
Berbeda dengan pengangkatan khalifah sejak masa Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tidak turun ke anak atau keluarga, Muawiyah yang mengangkat diri sebagai raja memberikan takhta kepada anaknya, Yazid. Sejak itu berdirilah Dinasti Umayyah. Para tentara Yazid inilah yang dalam sejarah tercatat melakukan pembantaian terhadap pengikut Ali, termasuk anaknya, Husain bin Ali RA, yang berarti masih cucu Rasul Muhammad.
Muawiyah
yang beraliran Sunni terus berkuasa hingga digantikan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad. Namun, antara abad ke-10 dan ke-11 terjadi
perpecahan di tubuh Dinasti Abbasiyah, yang kemudian muncullah Dinasti
Mamluk, yang juga beraliran Sunni.
Di sisi lain, kaum Syiah terus berkonsolidasi hingga berhasil mendirikan Dinasti Fatimiyah yang menguasai Afrika Utara hingga akhirnya berkedudukan di Mesir antara 910 M dan 1171 M. Dinasti inilah yang membangun Universitas Al-Azhar yang sampai sekarang masih ada di Kairo.
Antara Fatimiyah, Abbasiyah, dan Mamluk terus terjadi ketegangan. Hingga akhir abad ke-10 masuklah pasukan Frank ke kawasan Timur Tengah. Tentara Salib ini menyerbu kawasan Timur Tengah dan menimbulkan apa yang disebut Perang Salib atau di dunia Islam disebut Perang Sabil. Baik Abbasiyah maupun Fatimiyah tidak siap menghadapi kehadiran tentara Salib. Dan, kekalahan pasukan Islam di perang ini karena dua kerajaan besar Islam tersebut tidak fokus dan terus di antara mereka terlibat perang.
Penguasa Syiah di Mesir, Dinasti Fatimiyah, terusir dari negaranya menjelang abad ke-12, antara lain karena terus terlibat perang dengan Abbasiyah. Pemberontakan di dalam negeri juga terus berlangsung, hingga muncul Salahuddin Al-Ayyubi yang menggantikan Dinasti Fatimiyah. Dialah yang kemudian berhasil mengusir tentara Frank dari Jerusalem tahun 1187 M. Salahuddin kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiyah, yang juga berpaham Sunni.
Akan tetapi, keberhasilan Salahuddin mengusir tentara Salib tidak mengurangi perseteruan di dalam tubuh Islam, khususnya hubungan Sunni-Syiah. Konflik kecil di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya terus-menerus terjadi hingga Dinasti Utsmaniyah yang juga beraliran Sunni menguasai kawasan ini akhir abad ke-13.
Turki, tempat kedudukan Dinasti Utsmaniyah, menjadi kerajaan besar dan lintas benua. Kerajaan ini berkuasa hingga abad ke-20 dan terlibat dalam Perang Dunia Kedua melawan Sekutu. Akibat kekalahan Turki, kawasan Timur Tengah tercerai-berai dan Sekutu sebagai pihak pemenang membagi-bagi wilayah itu menjadi beberapa negara.
Namun, tidak berarti pengikut Syiah menyurut. Mereka terus bergerak dan menyebar hingga terjadi Revolusi Iran di tahun 1979 yang secara resmi menyatakan Iran yang awalnya kerajaan menjadi negara republik agama dengan Syiah Imamiyah sebagai mazhab resmi negara.
Sebenarnya, penganut Syiah tersebar di seantero kawasan Timur Tengah, mulai dari Mesir hingga Indonesia. Bahkan, di beberapa negara Timur Tengah, kaum Syiah cukup dominan dari segi jumlah, seperti di Irak, Oman, dan Lebanon.
Setelah menjadi mazhab resmi negara, para pejabat Iran di mana pun ditempatkan ikut menyebarkan paham Syiah. Di sisi lain, Arab Saudi yang secara resmi menganut mazhab Wahabi juga mulai gencar menyebarkan pahamnya.
Berawal dari titik inilah, kedua negara, Iran dan Arab Saudi, terlibat persaingan dalam mengembangkan mazhab masing-masing. Pengikut Syiah yang tinggal di Arab Saudi, seperti Nimr al Nimr, mencoba menggoyang dominasi Wahabi dari dalam. Tidak heran jika pemerintah kerajaan Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati dan mengeksekusinya akhir Desember lalu.
Simak kelanjutan serial "Konflik Iran-Arab Saudi" di harian ini pada Selasa
Para pengikut Syiah beranggapan bahwa yang layak menggantikan Nabi Muhammad SAW tak lain adalah Ali bin Abu Thalib. Selain menjadi menantu Rasulullah dengan mempersunting Fatimah, Ali juga sepupu Muhammad SAW dan pemuda pertama yang mengakui kenabiannya. Sejarah juga mencatat Ali dan Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW, melaksanakan shalat berjemaah pertama di dunia di dekat Kakbah dengan imam Rasulullah Muhammad SAW.
Kelompok Syiah yang ekstrem bahkan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar al Faruq, dan Utsman bin Affan, tiga khalifah sebelum Ali diangkat menggantikan Utsman. Kesetiaan pengikut Ali makin mengental setelah Ali RA dibunuh oleh Abdur-Rahman bin Muljam, konon orang yang hafal Al Quran, puasa di siang hari, dan shalat tahajud di malam hari.
Inilah sedikit latar belakang munculnya pengelompokan dalam tubuh Islam, yang terus bertahan hingga sekarang. Tiap-tiap kelompok itu mengaku paling benar sehingga memunculkan ketegangan di antara pengikutnya.
Ketegangan tersebut makin menjadi karena persoalan politik ikut mewarnai di dalamnya. Ketika Ali menjadi khalifah dan kemudian terbunuh, Gubernur Damaskus Muawiyah bin Sufyan mengambil keuntungan atas peristiwa itu. Di benak Muawiyah, Ali-lah yang selama ini dianggap menjadi penghalang baginya untuk mendirikan kerajaan.
Berbeda dengan pengangkatan khalifah sejak masa Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tidak turun ke anak atau keluarga, Muawiyah yang mengangkat diri sebagai raja memberikan takhta kepada anaknya, Yazid. Sejak itu berdirilah Dinasti Umayyah. Para tentara Yazid inilah yang dalam sejarah tercatat melakukan pembantaian terhadap pengikut Ali, termasuk anaknya, Husain bin Ali RA, yang berarti masih cucu Rasul Muhammad.
Di sisi lain, kaum Syiah terus berkonsolidasi hingga berhasil mendirikan Dinasti Fatimiyah yang menguasai Afrika Utara hingga akhirnya berkedudukan di Mesir antara 910 M dan 1171 M. Dinasti inilah yang membangun Universitas Al-Azhar yang sampai sekarang masih ada di Kairo.
Antara Fatimiyah, Abbasiyah, dan Mamluk terus terjadi ketegangan. Hingga akhir abad ke-10 masuklah pasukan Frank ke kawasan Timur Tengah. Tentara Salib ini menyerbu kawasan Timur Tengah dan menimbulkan apa yang disebut Perang Salib atau di dunia Islam disebut Perang Sabil. Baik Abbasiyah maupun Fatimiyah tidak siap menghadapi kehadiran tentara Salib. Dan, kekalahan pasukan Islam di perang ini karena dua kerajaan besar Islam tersebut tidak fokus dan terus di antara mereka terlibat perang.
Penguasa Syiah di Mesir, Dinasti Fatimiyah, terusir dari negaranya menjelang abad ke-12, antara lain karena terus terlibat perang dengan Abbasiyah. Pemberontakan di dalam negeri juga terus berlangsung, hingga muncul Salahuddin Al-Ayyubi yang menggantikan Dinasti Fatimiyah. Dialah yang kemudian berhasil mengusir tentara Frank dari Jerusalem tahun 1187 M. Salahuddin kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiyah, yang juga berpaham Sunni.
Akan tetapi, keberhasilan Salahuddin mengusir tentara Salib tidak mengurangi perseteruan di dalam tubuh Islam, khususnya hubungan Sunni-Syiah. Konflik kecil di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya terus-menerus terjadi hingga Dinasti Utsmaniyah yang juga beraliran Sunni menguasai kawasan ini akhir abad ke-13.
Turki, tempat kedudukan Dinasti Utsmaniyah, menjadi kerajaan besar dan lintas benua. Kerajaan ini berkuasa hingga abad ke-20 dan terlibat dalam Perang Dunia Kedua melawan Sekutu. Akibat kekalahan Turki, kawasan Timur Tengah tercerai-berai dan Sekutu sebagai pihak pemenang membagi-bagi wilayah itu menjadi beberapa negara.
Namun, tidak berarti pengikut Syiah menyurut. Mereka terus bergerak dan menyebar hingga terjadi Revolusi Iran di tahun 1979 yang secara resmi menyatakan Iran yang awalnya kerajaan menjadi negara republik agama dengan Syiah Imamiyah sebagai mazhab resmi negara.
Sebenarnya, penganut Syiah tersebar di seantero kawasan Timur Tengah, mulai dari Mesir hingga Indonesia. Bahkan, di beberapa negara Timur Tengah, kaum Syiah cukup dominan dari segi jumlah, seperti di Irak, Oman, dan Lebanon.
Setelah menjadi mazhab resmi negara, para pejabat Iran di mana pun ditempatkan ikut menyebarkan paham Syiah. Di sisi lain, Arab Saudi yang secara resmi menganut mazhab Wahabi juga mulai gencar menyebarkan pahamnya.
Berawal dari titik inilah, kedua negara, Iran dan Arab Saudi, terlibat persaingan dalam mengembangkan mazhab masing-masing. Pengikut Syiah yang tinggal di Arab Saudi, seperti Nimr al Nimr, mencoba menggoyang dominasi Wahabi dari dalam. Tidak heran jika pemerintah kerajaan Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati dan mengeksekusinya akhir Desember lalu.
Simak kelanjutan serial "Konflik Iran-Arab Saudi" di harian ini pada Selasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar