“Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad, wa asyghiliz dholimin min dholimin, wa akhrijna min bayni min saalimin, wa ala’alihi wa sahbihi ajma’in”
Shalawat atau doa ini terdengar sangat familiar dengan telinga saya sejak kecil. Doa ini kerap dilantunkan di masjid atau musholla dekat rumah. Baik saat menjelang Solat Maghrib atau pada bulan Ramadhan. Namun, beberapa bulan lalu (atau tahun lalu), saya pernah mendengar ceramah seorang ustadz mengenai doa ini. Makna doa ini dan latar belakangnya.
Biar pengetahuan tak hanya diendapkan sendiri, saya mencoba menulisnya dalam sebuah catatan. Walaupun, saya harus membongkar-bongkar kembali file di 4shared yang dulu pernah saya dengar. Kajiannya menarik. Namun, sebelum masuk ke pembahasan, mari kita periksa terlebih dahulu apa makna doa ini.
- Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad (Ya Allah sampaikan salam kami kepada pemimpin kami Nabi Muhammad)
- Wa asyghiliz dholimin min dholimin (Sibukan tangan orang dzalim dengan orang dzalim lagi)
- Wa akhrijna min bayni min saalimin (Keluarkan kami dari kedzaliman mereka dengan selamat)
- Wa ala’alihi wa sahbihi ajma’in” (Ya Allah sampaikan shalawat ini juga kepada kerabat, keluarga dan pengikut beliau)
Di kalimat pertama tentu tidak ada masalah. Kecuali, ada kalangan yang tak menggunakan istilah sayyidina (karena bisa diartikan sebagai penghulu). Salah seorang teman yang bermanhaj ‘salafi’ enggan menggunakan istilah ini. Tapi, baiklah, saya tak akan mendiskusikan perdebatan itu di catatan ini.
Lalu, bagaimana dengan kalimat kedua dan ketiga? Di sini yang menjadi soal? KH Rahmat Abdullah –seorang ustadz yang saya ceritakan di awal- menceritakan latar belakang lahirnya shalawat atau doa ini. Doa ini lahir pada 1972 atau 1973 ketika era Orde Baru. Doa ini dipopulerkan melalui Radio Assyafi’iyyah.
Ust Rahmat menuturkan saat itu adalah ketika tokoh ulama, termasuk Pak (Muhammad) Natsir Allahu Yarham tak bisa apa-apa lagi. “Kami sudah ngomong, kami sudah sampaikan. Tapi keadaan tak berubah. Ummat Islam makin dilecehkan” mengutip tokoh-tokoh ulama saat itu.
Ada ‘riwayat’ lain yang cukup mirip tapi sedikit berbeda. Guru Besar Psikologi Islam UIN Jakarta Achmad Mubarok mencatat shalawat atau doa ini memang dipopulerkan oleh Radio Dakwah Assyafi’iyyah. Namun, yang mempopulerkan adalah KH Abdullah Syafi’i. ‘Originel intent’nya ketika itu adalah adanya manufer-manufer orang-orang yang berusaha memasukan aliran kebatinan ke dalam GBHN agar bisa disetarakan dengan agama.
Terlepas riwayat siapa yang benar, tapi Ust Rahmat mencatat bahwa akhirnya shalawat atau doa ini memang terbukti ‘ampuh’. Walau pun panjang masanya, Soeharto akhirnya jadi sibuk sama Benny (Moerdani). Soeharto sibuk dengan pengikut-pengikut setianya dulu. Digoncang dan digoyang. Doa dikabulkan walau masanya sangat panjang.
Namun, pertanyaannya apakah doa ini masih relevan untuk kondisi sekarang. Ketika era telah berubah. Jalanan-jalanan kota sudah sangat ‘kondusif’ sebagai sarana menumbangkan kedzaliman. Apakah doa ini masih relevan seperti layaknya di era orde baru dulu? Bahkan, saat ini, orang yang berdoa seperti ini banyak yang tak mengerti artinya. Yang didoakan dan yang mendoakan sama-sama tidak tahu.
Akhir kata, saya sangat setuju dengan apa yang dilontarkan oleh Ust Rahmat Abdullah. “Kalau orang dzalim disibukkan dengan tangan orang dzalim lagi. Terus ente mau ngapain? Ente mau tidur?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar